Menjelang Kongres Association of Asian Constitutional Courts and Equivalent Institutions (AACC) yang akan diselenggarakan di Nusa Dua Bali, Presiden Mahkamah Konstitusi Republik Korea Park Han Chul memberikan kuliah umum kepada sivitas akademika Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali, Senin, (8/8).
Bertempat di Aula Gedung FH Universitas Udayana, Park memaparkan sejarah perjalanan dan kewenangan MK Korea. Ia menjelaskan, Mahkamah Konstitusi Republik Korea berdiri pada 1988, berdasar amandemen konstitusi yang dilakukan pada tahun 1987. Kewenangan yang dimiliki MK Korea mirip dengan kewenangan MK Republik Indonesia (MKRI), yaitu menguji undang-undang terhadap Konstitusi, pengaduan konstitusional (constitutional complaint), sengketa kewenangan antarlembaga negara, pembubaran partai politik, dan pemakzulan.
Park mengungkapkan, kewenangan pemakzulan yang dimiliki MK Korea tidak hanya terbatas kepada presiden, melainkan juga kepada pejabat publik lainnya. Hal tersebut, menurut Park, menjadi alat rakyat untuk melakukan pengawasan. “Konstitusi berkembang menjadi norma yang diikuti oleh setiap warga negara, untuk mengontrol tindakan sewenang-wenang negara,” ujar Park.
Ia menambahkan, MK Korea juga berperan aktif untuk meningkatkan penegakan hak asasi manusia di kawasan Asia, di antaranya dengan menjadi salah satu deklarator AACC bersama Indonesia pada 2010. AACC adalah organisasi perkumpulan Mahkamah Konstitusi dan lembaga sejenis di kawasan Asia yang saat ini beranggotakan 16 negara.
Perbandingan Indonesia
Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, yang juga menjadi pembicara dalam kuliah umum tersebut, mengatakan meski secara umum kewenangan antara MK di dunia memiliki kemiripan, terdapat sedikit perbedaan kewenangan antara MK Korea dengan MKRI. Di antara perbedaan tersebut adalah kewenangan untuk mengadili perkara pengaduan konstitusional dan sengketa kewenangan antarlembaga negara.
MKRI, jelas Palguna, tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa perkara pengaduan konstitusional. Namun, dalam perjalanannya MKRI menangani sejumlah perkara pengujian undang-undang yang berbau pengaduan konstitusional dalam bentuk putusan konstitusional bersyarat. Sementara pada perkara sengketa kewenangan antarlembaga negara, imbuh Palguna, kewenangan yang dimiliki MKRI hanya sebatas menguji kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diatur oleh Undang-Undang Dasar. Berbeda dengan MK Korea, yang dapat memeriksa perkara sengketa antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat.
Menjawab pertanyaan salah satu peserta kuliah umum mengenai batas waktu penyelesaian sebuah perkara, Park menjelaskan, MK Korea diberi batas waktu untuk menyelesaikan sebuah perkara dalam waktu 180 hari. Namun demikian, ada beberapa perkara yang memakan waktu hingga 2-3 tahun. MKRI sendiri, menurut Palguna, tidak diberi batasan waktu berapa lama sebuah perkara pengujian undang-undang harus selesai diperiksa dan diputus. “Memang undang-undang hanya memberi limitasi waktu 14 hari kepada pemohon untuk melakukan perbaikan permohonan sejak sidang pendahuluan,” ujar Palguna.
Berdasar ketentuan yang ada, papar Palguna, MKRI hanya diberi limitasi waktu pada perkara perselisihan hasil pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Dewan Perwakilan Daerah, dan perselisihan hasil pemilihan Presiden-Wakil Presiden. Selain itu, batas waktu juga diberika untuk putusan atas pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Kegiatan kuliah umum tersebut juga diikuti oleh mahasiswa Fakultas Hukum dari sejumlah perguruan tinggi di Indonesia melalui jaringan video conference MKRI.(iwm/rit/lul)