Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen) yang diajukan oleh tiga permohonan perseorangan. Sidang pengucapan putusan No. 65/PUU-XIII/2015 tersebut diucapkan Ketua MK Arief Hidayat pada Kamis (4/8) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Arief.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Konstitusi Manahan Sitompul, Mahkamah menilai permasalahan yang dikemukakan para Pemohon merupakan permasalahan implementasi dari pelaksanaan ketentuan perundang-undangan, bukan merupakan permasalahan konstitusionalitas norma. Pemohon merasa dirgikan akibat tidak dicantumkannya informasi nama dan domisili lengkap dari badan hukum/pelaku usaha yang bertanggung jawab atas barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau dijual oleh pelaku usaha dalam Pasal 4 huruf c dan Pasal 7 huruf b UU Perlindungan Konsumen sehingga para Pemohon mengalami kesulitan ketika akan meminta pertanggungjawaban pelaku usaha.
“Kewajiban bagi pelaku usaha untuk mencantumkan nama dan domisili pada produk barang dan/atau jasa sebenarnya telah diatur dalam Pasal 8 ayat (1) huruf i UU Perlindungan Konsumen,” terang Manahan.
Pelanggaran atas ketentuan tersebut, lanjut Manahan, dikualifikasi sebagai perbuatan melanggar hukum dengan ancaman pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang a quo. Tujuan adanya pengaturan tersebut adalah mengupayakan terciptanya tertib perdagangan dalam rangka menciptakan iklim usaha yang sehat.
Selanjutnya, mengenai tanggung jawab pelaku usaha terhadap barang dan/atau jasa yang rusak, tercemar, dan/atau menimbulkan kerugian bagi konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan tersebut telah pula diatur dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 28 UU Perlindungan Konsumen.
“Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, telah jelas bagi Mahkamah bahwa tidak terdapat pertentangan norma undang-undang yang dimohonkan pengujian terhadap UUD 1945, sehingga permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” terangnya.
Tiga orang warga negara atas nama Samuel Bonaparte (Pemohon I), Ridha Sjartina (Pemohon II), dan Satrio Laskoro (Pemohon III) menguji ketentuan Pasal 4 huruf c dan Pasal 7 huruf a UU Perlindungan Konsumen. Pemohon I menyatakan pihaknya telah mengalami kerugian nyata dalam kasus malpraktik terhadap anaknya pada suatu rumah sakit. Namun, dalam persidangan, pihak rumah sakit menggunakan eksepsi error in persona karena adanya badan hukum yang berbeda sebagai penanggung jawab kesalahan tersebut. Akan tetapi Pemohon I tidak pernah mengetahui badan hukum mana yang dimaksud. Hal inilah yang menyebabkan kerugian konstitusionalnya sebagai konsumen. Apalagi Pasal 4 huruf c UU a quo tidak menyatakan secara tegas hak konsumen mengenai informasi yang benar terkait dengan pelaku usaha yang bertanggung jawab terhadap barang/ atau jasa yang dijual.
Selain itu, para Pemohon beranggapan Pasal 7 huruf a UU Perlindungan Konsumen tidak menyatakan secara tegas itikad baik seperti apa yang harus dilakukan oleh pelaku usaha termasuk dalam hal penyantuman/pengumuman nama badan hukum yang bertanggung jawab atas barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau dijual. Pasal ini hanya menyebutkan kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dalam melakukan usahanya tanpa diberikannya indikator itikad baik sehingga tidak memberikan kepastian hukum bagi konsumen karena tidak ada informasi yang lengkap atas pelaku usaha yang bertanggung jawab atas barang dan/jasa tersebut. (Lulu Anjarsari/lul)