Permohonan sejumlah pengusaha ternak unggas yang tergabung dalam Perhimpunan Peternak Unggas Indonesia yang menguji aturan integrasi usaha peternakan unggas ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan teregistrasi Nomor 117/PUU-XIII/2015 tersebut diucapkan Ketua MK Arief Hidayat didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Menurut Mahkamah, rumusan ketentuan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan tersebut tidak memberikan peluang terjadinya integrasi vertikal usaha peternakan unggas sebagaimana didalilkan Pemohon.
Dikatakan Mahkamah, jika menggunakan penafsiran otentik, yaitu penafsiran menurut pembentuk undang-undang, sudah sangat terang bahwa “integrasi” dalam ketentuan dimaksud tidak pernah dimaksudkan sebagai integrasi vertikal. “Telah jelas bahwa pembentuk undang-undang tidak pernah meniatkan integrasi dimaksud sebagai integrasi vertikal sebagaimana didalilkan Pemohon,” kata Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna yang membacakan pertimbangan hukum.
Lebih lanjut, imbuh Palguna, jika menggunakan penafsiran gramatikal, Mahkamah melihat integrasi yang bermakna berpadu atau bergabung supaya menjadi kesatuan yang utuh juga tidak mungkin ditafsirkan sebagai penyatuan vertikal, sebab konteks penyatuan dimaksud langsung dikaitkan dengan anak kalimat atau frasa berikutnya yaitu “dengan budi daya tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan, kehutanan, atau bidang lainnya yang terkait”.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah berpandangan kata “terkait” dalam frasa “bidang lainnya yang terkait” tidak dapat diartikan tersendiri di luar konteks rumusan norma tersebut sehingga menutup peluang pengertian integrasi vertikal.
“Dalam kasus tersebut, telah nyata rangkaian kalimat dalam norma Pasal 2 ayat (1) UU 18/2009 tersebut adalah merujuk pada integrasi horizontal. Penafsiran integrasi menjadi integrasi vertikal bertentangan dengan asas Ejusdem Generis. Sebab, menurut asas ini, suatu kata atau istilah dibatasi maknanya secara khusus dalam kelompoknya, dalam hal ini kelompok dimaksud adalah merujuk secara horizontal pada tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan, kehutanan, atau bidang lainnya yang terkait kelompok itu,” Lanjut Palguna.
Selanjutnya, dengan menggunakan penafsiran historis atau sejarah, Mahkamah melihat tidak terdapat catatan yang menunjukkan adanya pembicaraan bahwa integrasi dalam norma undang-undang tersebut dimungkinkan untuk diartikan sebagai integrasi vertikal. Demikian pula jika menggunakan penafsiran sistematis, yaitu dengan menghubungkan secara sistematis keterkaitan antara satu norma dan norma lainnya dalam undang-undang.
“Jika integrasi dimaksud dimaknai sebagai integrasi vertikal maka hal itu justru akan bertentangan dengan semangat undang-undang a quo secara keseluruhan,” imbuh Palguna.
Mahkamah tidak menafikan apabila dalam praktik ternyata apa yang dikhawatirkan Pemohon itu terjadi. Namun hal itu bukanlah disebabkan oleh inkonstitutionalnya Pasal 2 ayat (1) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan. “Kejadian atau kekhawatiran demikian bisa terjadi karena lemahnya pengawasan di lapangan atau karena Pemerintah tidak maksimal dalam melaksanakan peran dan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang a quo yang sesungguhnya justru bermaksud mendorong masyarakat untuk mengusahakan budi daya ternak sekaligus melindungi peternak,” jelasnya.
Sementara itu, apabila praktik monopoli oleh pemodal besar benar-benar terjadi sebagaimana didalilkan Pemohon, yang berarti telah terjadi dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, maka hal itu mestinya diatasi dengan mengadukan persoalan demikian ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Selain itu, terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan dalam Pasal 30 ayat (2) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan membuka peluang masuknya penanaman modal asing dalam bisnis perunggasan yang mengakibatkan penguasaan pasar secara besar-besaran, bahkan melakukan praktik monopoli, kartel, dan liberalisasi perdagangan, Mahkamah berpendapat dalil tersebut salah sasaran. “Pengaturan tentang bidang usaha yang terbuka dan tertutup bagi masuknya modal asing telah diatur dalam Undang-Undang tentang Penanaman Modal (Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007),” tegas Palguna.
Oleh karena itu, jika Pemohon berpendapat bidang usaha peternakan seharusnya dinyatakan tertutup bagi modal asing, dengan argumentasi bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, Mahkamah menilai seharusnya pemohon mengajuan pengujian Pasal 12 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.
Setelah mendengarkan keterangan sejumlah ahli dalam rangkaian persidangan, Mahkamah justru melihat dengan jelas bahwa UU Peternakan dan Kesehatan Hewan bermaksud untuk menjadikan perorangan warga negara Indonesia (WNI) atau badan hukum Indonesia sebagai aktor utama dalam usaha budi daya.
Mahkamah menilai undang-undang tersebut memang tidak membatasi perorangan WNI atau badan hukum Indonesia itu jika hendak mengadakan kerja sama dengan pihak asing. Meski demikian, Pasal 30 ayat (2) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan menyatakan larangan usaha budi daya oleh pihak asing tidak boleh dilakukan tanpa melalui kerja sama dengan perorangan WNI atau pun dengan badan hukum Indonesia.
(Ilham/lul)