Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana dua perkara uji materi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 8 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada), Kamis (28/7) di Ruang Sidang MK. Masing-masing perkara, yaitu perkara No. 54/PUU-XIV/2016 dimohonkan Teman Ahok dan Perkara No. 55/PUU-XIV/2016 dimohonkan Bakal Calon Bupati Kabupaten Nagan Raya TR Kaumangan. Lewat kuasa hukumnya masing-masing, Pemohon menyampaikan keberatan terhadap ketentuan syarat pencalonan kepala daerah dalam UU Pilkada.
Kuasa Hukum Pemohon Perkara No. 54/PUUXIV/2016, Andi syafrani menyampaikan bahwa pada pokoknya Pemohon keberatan dengan ketentuan dalam Pasal 41 ayat (1), (2), dan (3) serta Pasal 48 ayat (1a) huruf b, (3b), dan (3d) UU Pilkada yang baru disahkan Presiden Joko Widodo pada Jumat (1/7) lalu. Pasal tersebut danggap bertentangan dengan prinsip negara hukum dan demokratis yang dianut bangsa Indonesia. Selain itu, ketentuan dalam pasal dimaksud juga dianggap diskriminatif terhadap calon kepala daerah yang berasal dari jalur independen.
Di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, Andi menyampaikan argumentasi permohonan Pemohon. Menurutnya, Pasal 41 UU Pilkada memiliki makna bahwa calon gubernur/bupati/walikota dan calon wakil gubernur/bupati/walikota hanya dapat mendaftarkan diri melalui jalur perseorangan dengan dukungan dari penduduk yang pernah menjadi pemilih dalam pemilihan sebelumnya. Dengan kata lain, dukungan untuk calon independen hanya dapat diberikan oleh WNI yang berusia di atas 17 tahun atau sudah berusia 17 tahun pada pemilu sebelumnya.
Menurut Pemohon, ketentuan semacam itu inkonstitusional karena pada kenyataannya banyak sekali penduduk yang baru pertama kali mempunyai hak pilih pada pilkada mendatang karena baru berusia 17 tahun atau baru menikah maupun penduduk pindahan.
“Pertama, kami menyatakan bahwa norma tersebut bersifat ex post facto atau retroaktif, bertentangan dengan prinsip rechstaat atau rule of law. Ada beberapa alasan yang kami kemukakan kenapa ini kami anggap norma yang bersifat retroaktif pada halaman 18 poin 20. Pertama, tindakan pendukungan para pemilih terhadap calon perseorangan adalah tindakan yang ditujukan kepada sebuah tujuan yang bersifat prospektif, yakni untuk mendukung seseorang yang dapat dicalonkan dalam pemilihan yang akan datang. Pemilihan yang belum berlangsung tapi akan dilangsungkan dengan tahapan yang masih atau sedang berjalan atau bahkan baru direncanakan. Itu adalah tindakan yang bersifat prospektif, “ jelas Andi.
Selain itu, Andi juga menyampaikan keberatan Pemohon tentang syarat verifikasi faktual yang menentukan masa 3 hari untuk mendatangkan pemilih pendukung dalam rentang waktu 14 hari masa verifikasi faktual pada hari kerja. Hal ini menurut Pemohon mengakibatkan beberapa persoalan yang berakibat pada hilangnya informasi kepada pemilih atau setidaknya menutup ruang pemilih untuk secara aktif dan partisipatif melakukan pengecekan dukungannya dalam tahap verifikasi faktual.
“Jjika sampai berakhir masa 14 hari verifikasi faktual, tim paslon atau pemilih pendukungnya tidak dapat lagi membela haknya untuk memastikan dukungannya. Padahal misalnya seorang pemilih telah menunggu kedatangan petugas PPL sampai hari terakhir karena dia tidak tahu kapan jadwal dia datangi, ternyata sampai hari terakhir, dia tidak kunjung didatangi petugas. Penantian pemilih pendukung tersebut sia-sia karena telah habis masa 14 hari tersebut. Dukungannya dinyatakan tidak memenuhi syarat,” urai Andi mengandaikan.
Masa Cuti Petahana
Sementara, Fuad Hadi selaku kuasa hukum Pemohon Perkara No. 55/PUU-XIV/2016 menyampaikan Pemohon merasa diperlakukan diskriminatif akibat berlakunya Pasal 70 ayat (3) UU Pilkada. Pasal tersebut mengatur bahwa calon kepala daerah yang merupakan petahana cukup menjalani cuti selama masa kampanye saja.
Fuad mengatakan ketentuan tersebut menguntungkan petahana dari sisi anggaran. Sebab, Fuad beranggapan anggaran pemilihan juga berasal dari APBD kabupaten yang menjadi kewenangan untuk menggunakannya berada di tangan petahana. Oleh karena itu, Pemohon, seperti yang disampaikan Fuad langsung menyimpulkan bahwa ketentuan Pasal 70 ayat (3) UU Pilkada tersebut diskriminatif.
“Bahwa Pasal 70 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 jelas-jelas mengandung makna yang bertentangan dengan nilai persamaan di hadapan hukum dan dalam pemerintahan. Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil,mserta perlakuan yang sama di hadapan hukum, hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, dan hak atas kebebasan dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun, dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersikap diskriminatif itu. Oleh karena itu, sudah terang benderang bahwa ketentuan Pasal 70 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 281 ayat (2) Undang-Undang Tahun 1945,” pinta Fuad.
Menanggapi permohonan Pemohon Perkara No. 55/PUU-XIV/2016, Maria menyarankan agar Pemohon menegaskan permohonannya yang meminta ketentuan mengenai waktu cuti petahana. Penegasan dirasa perlu, sebab isi pasal a quo dengan tujuan permohonan Pemohon justru berseberangan.
Maria menjelaskan bahwa Pasal 70 ayat (3) UU Pilkada tidak berdiri sendiri. Pasal tersebut berkaitan dengan Pasal 20 ayat (3) UU Pilkada yang mensyaratkan bahwa cuti petahana di luar tanggungan negara. Maria menegaskan bahwa bila Pemohon meminta Pasal 70 ayat (3) dihapuskan justru ketentuan mengenai cuti petahana tidak memiliki syarat lain.
“Jadi, kalau Anda menghilangkan ayat (3) itu, cuti itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, maka tidak ada aturannya. Apakah petahana boleh mengajukan diri kembali? Anda tadi mengatakan, ‘Setuju kalau petahana boleh, tapi syaratnya sama dengan yang lain,’ begitu kan? Nah, ini Anda harus hati-hati di sini, kalau Anda mengatakan ini diskriminatif karena dengan hanya cuti di luar tanggungan negara, itu dia tidak dirugikan,” saran Maria yang didampingi Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Wahiduddin Adams. (Yusti Nurul Agustin/lul)