Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 284 ayat (1) sampai (5) tentang zina, Senin (1/8). Sidang perkara teregistrasi Nomor 46/PUU-XIV/2016 beragenda mendengarkan keterangan ahli Pemohon.
Di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat, Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Adian Husaini sebagai ahli yang dihadirkan Pemohon menyatakan tantangan moral dalam segi pendidikan tergolong berat. Sebab, banyak generasi muda yang terjerumus seks bebas. “Ditambah lagi fenomena Lesbian Gay Biseksual Transgender (LGBT) yang semakin mewabah akhir-akhir ini,” ungkapnya.
Hal tersebut, sambungnya, kontras dengan tujuan pendidikan yang terkandung dalam Undang-Undang Pendidikan Nasional maupun Undang-Undang Pendidikan Tinggi. “Bangsa kita telah sepakat, tujuan pendidikan nasional dan pendidikan tinggi itu adalah membentuk manusia yang beriman ya, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan mandiri,” imbuh Adian.
Sedangkan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Dewi Inong Iriana berbicara mengenai dampak seks bebas dan LGBT. Menurutnya, ujung muara dari kedua perilaku tersebut adalah penyakit HIV/AIDS. Selain itu, bermacam penyakit lain juga mengintai pelaku seks bebas dan LGBT, seperti sifilis, jengger ayam, serta herfes.
“Juga mesti digarisbawahi penggunaan kondom adalah tidak tepat. Karena tak bisa mencegah penularan HIV/AIDS,” katanya menegaskan.
Dewi menyebut persentase keamanan kondom hanya 26 persen saja. Sehingga yang paling tepat adalah sikap benar-benar menjauhi seks bebas dan setia pada pasangan.
Sementara pakar hukum Universitas Indonesia Neng Djubaedah memaparkan akibat zina terhadap keluarga dan tatanan masyarakat. Ia merujuk pada Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 pada tahun 2012.
“Anak hasil zina atau anak hasil perkosaan, itu tidak mempunyai hubungan nasab dengan ayah kandungnya. Sekalipun, itu telah dibuktikan menurut Pasal 43 yang frasanya telah diubah oleh putusan MK,” tegasnya.
Sebelumnya, pada sidang pendahuluan yang digelar Selasa (7/6) lalu, mewakili para Pemohon, Evi Risna Yanti menyatakan pihaknya merasa dirugikan hak konstitutionalnya untuk mendapatkan kepastian hukum dan perlindungan sebagai pribadi, keluarga, dan masyarakat atas berlakunya pasal yang mengatur mengenai perzinaan, perkosaan, dan pencabulan tersebut.
“Apalagi kita sadari KUHP disusun para ahli hukum Belanda yang hidup ratusan tahun lampau. Tentulah keadaan masyarakat pada saat penyusunannya sudah sangat jauh berbeda dengan masa kini,” jelasnya dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati.
Selain itu, Evi menegaskan KUHP disusun oleh mereka yang tak meyakini Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Oleh karena itu, menurutnya, dapat dipastikan tidak sepenuhnya ketentuan dalam KUHP sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang menjiwai setiap hukum positif di Indonesia. Evi menilai pasal-pasal terkait perzinahan tersebut tidak cukup jelas untuk melindungi hak konstitusional para Pemohon. (ars/lul)