Sebanyak 158 mahasiswa gabungan dari Fakultas Hukum (FH) Universitas Ahmad Dahlan(UAD)Yogyakarta dan FH Universitas Bandar Lampung (UBL) berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (1/8). Kedatangan mereka diterima Panitera Pengganti MK Fadzlun Budi Sulistyo Nugroho di aula gedung MK.
Mengawali paparannya, Fadzlun menuturkan sejarah panjang judicial review di dunia. “Tentang pengujian undang-undang bermula dari Kasus Marbury vs Madison di Amerika Serikat pada 1803. Selanjutnya kasus tersebut mengilhami Hans Kelsen, pakar hukum tata negara dari Austria untuk membentuk lembaga peradilan yang berwenang menguji undang-undang. Hingga kemudian dibentuklah Mahkamah Konstitusi pertama di Austria tahun 1920,” papar Fadzlun kepada para mahasiswa.
Berdirinya MK di Austria, lanjutnya, memengaruhi negara-negara lain di Eropa untuk membentuk lembaga peradilan konstitusi. Sampai kemudian pembentukan MK menyebar ke Indonesia pada masa kemerdekaan. Di masa itu, tokoh nasional Mohammad Yamin sempat mencetuskan ide perlunya wewenang membanding atau menguji undang-undang oleh Balai Agung (Mahkamah Agung di Indonesia saat itu).
Namun tokoh lain, Soepomo tidak sependapat dengan Yamin. Menurut Soepomo, semangat Undang-Undang Dasar yang dibangun Indonesia pada saat itu tidak menganut pemisahan kekuasaan tapi pembagian kekuasaan. “Alasan kedua, ahli-ahli hukum di Indonesia ketika itu belum siap dan belum cukup pengalaman untuk melakukan pengujian undang-undang,” ujar Fadzlun yang didampingi Dosen FH UBL Rifandi Ritonga dan Dosen FH UAD Yogyakarta Fauzan Muhammadi.
Bertahun-tahun kemudian, pada 2001, saat terjadi amandemen UUD 1945, ide perlu dibentuknya MK di Indonesia kembali dicetuskan. Alhasil setelah melalui proses pembahasan panjang, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) dibentuk pada 13 Agustus 2003.
Dalam perkembangannya, ungkap Fadzlun, banyak yang tidak mengetahui keberadaan MK sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman. Ketika itu, orang hanya tahu pelaku kekuasaan kehakiman adalah Mahkamah Agung (MA).
Fazdlun melanjutkan, sesuai Pasal 24C UUD 1945 disebutkan empat kewenangan dan satu kewajiban Mahkamah Konstitusi. Pasal 24C Ayat (1) berbunyi, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”
Sedangkan Pasal 24C Ayat (2) menyebutkan, “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presidendan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.”
Mengenai kewenangan memutus perselisihan hasil pemilihan kepala daerah, kata Fadzlun, putusan MK menyatakan pemilihan kepala daerah (pilkada) bukan rezim pemilihan umum (pemilu). Dengan demikian, kewenangan memutus perselisihan hasil pemilihan kepala daerah seharusnya bukan menjadi kewenangan MK. Putusan tersebut mengembalikan kepada pembentuk undang-undang untuk membentuk badan peradilan khusus penanganan sengketa pemilihan kepala daerah.
“Namun, karena sampai sekarang belum terbentuk badan peradilan khusus penanganan sengketa pilkada, kini MK masih dipercaya untuk menangani sengketa perselisihan hasil pilkada,” ujarnya.
(Nano Tresna Arfana/lul)