Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Putusan dengan Nomor 106/PUU-XIIII/2015 dibacakan Ketua MK Arief Hidayat, Kamis (28/9) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Arief didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Manahan Sitompul, Pemohon berkeberatan dengan berlakunya Pasal 80 huruf j UU MD3 terkait program pembangunan daerah pemilihan. Menurut Mahkamah, sebagai bentuk tanggung jawab politik kepada pemilih di daerah pemilihan, Pasal 80 huruf j UU MD3 merupakan bagian dari tugas menyerap aspirasi rakyat yang menjadi hakikat dari seorang anggota badan perwakilan.
Frasa “mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan” sebagaimana diatur dalam Pasal 80 huruf j UU MD3 tidak dapat diartikan sebagai praktik “pembayaran kembali” kepada konstituen sebagaimana didalilkan para Pemohon, karena memperjuangkan aspirasi daerah pemilihan sesungguhnya merupakan bagian dari tugas memperjuangkan aspirasi rakyat yang diemban oleh anggota DPR.
Pasal 80 huruf j UU MD3, lanjut Manahan, bukan semata-mata merupakan kebijakan hukum terbuka yang dipilih oleh pembentuk undang-undang dalam mengimplementasikan tugas menyerap aspirasi rakyat, melainkan sekaligus amanat kepada seluruh anggota DPR untuk sungguh-sungguh menyerap aspirasi rakyat yang tidak terlepas dari fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan dari DPR.
Mahkamah menilai ketiga fungsi dimaksud berkaitan dengan fungsi pemerintah sebagai lembaga eksekutif yang bertugas melaksanakan pembangunan nasional demi tercapainya tujuan nasional. Pembagian tugas antara legislatif dan eksekutif telah jelas dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
“DPR sebagai penyerap aspirasi rakyat yang mencakup seluruh wilayah Indonesia akan membawa aspirasi tersebut ke forum dewan perwakilan rakyat sebagai lembaga perwakilan, yang kemudian diserahkan kepada lembaga eksekutif, baik tingkat pusat maupun daerah, untuk dilaksanakan,” ujar Manahan.
Terkait dengan dana aspirasi yang menjadi akar permasalahan dalam permohonan pemohon, menurut Mahkamah adalah permasalahan implementasi dari norma tersebut dan bukan permasalahan konstitusional norma yang menjadi kewenangan Mahkamah untuk mengadilinya. Implementasi dari hak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan seharusnya memikirkan pula keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia agar jangan mempertajam kesenjangan pembangunan daerah. Sebab, alokasi kursi DPR kepada setiap provinsi tidak dilakukan berdasarkan single-member constituency (satu kursi untuk setiap dapil), melainkan multi-member constituency (satu dapil untuk beberapa kursi). Pertimbangan-pertimbangan demikian, tambah Manahan, seharusnya menjadi kebijakan pembuat undang-undang demi mewujudkan tujuan nasional yang diamanatkan UUD 1945.
“Menimbang berdasarkan pertimbangan hukum di atas, telah terang bagi Mahkamah bahwa apa yang didalilkan oleh para Pemohon dalam permohonan a quo bukanlah masalah inkonstitusionalitas norma Undang-Undang, in casu Pasal 80 huruf j UU MD3, melainkan masalah penerapan norma Undang-Undang tersebut dalam praktik. Dengan demikian, permohonan a quo tidak beralasan menurut hukum,” tandas Manahan.
Dalam permohonan yang diajukan oleh enam orang warga negara yaitu Abraham Pelamonia, Yosep Adi, Isay Wenda, Samuel Fruaro, Hasael Ayub Wombay, Echletus Jefry Maximus Sawaki tersebut, Pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya pasal 80 huruf j UU MD3, yang mengatur tentang hak anggota DPR untuk mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan di daerah pemilihannya atau biasa disebut dengan dana aspirasi. (Lulu Anjarsari/lul)