Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya permohonan yang diajukan oleh tiga advokat yang tergabung dalam Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Putusan dengan Nomor 32/PUU-XIV/2016 diucapkan Ketua MK Arief Hidayat didampingi delapan hakim konstitusi lainnya, Kamis (28/7) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Arief membacakan putusan dari permohonan yang diajukan oleh Ikhwan Fahrojih, Aris Budi Cahyono, dan Muadzim Bisri tersebut.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo, Mahkamah menilai kerugian yang dialami oleh para Pemohon bukan disebabkan inkonstitusionalnya norma Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat), melainkan oleh penerapan atau implementasi norma di dalam praktik.
Mengutip pertimbangan hukum Putusan Nomor 103/PUU-XI/2013 bertanggal 11 September 2014 yang juga menguji ketentuan UU Advokat, Mahkamah menilai adanya kewenangan untuk melaksanakan pendidikan khusus profesi advokat [Pasal 2 ayat (1)], pengujian calon advokat [Pasal 3 ayat (1) huruf f], pengangkatan advokat [Pasal 2 ayat (2)], membuat kode etik [Pasal 26 ayat (1)], membentuk dewan kehormatan [Pasal 27 ayat (1)], membentuk komisi pengawas [Pasal 13 ayat (1)], melakukan pengawasan [Pasal 12 ayat (1)], dan memberhentikan advokat [Pasal 19 ayat (1)] dalam UU Advokat telah mencerminkan sifat mandiri, bebas dan bertanggung jawab bagi organisasi advokat.
Ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU Advokat pun menyatakan susunan organisasi advokat ditetapkan para advokat dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Ketentuan tersebut juga menunjukkan sifat mandiri, bebas dan bertanggung jawab dalam pengaturan profesi advokat sebagaimana diamanatkan dalam UU Advokat.
Mekanisme pemilihan pengurus Advokat yang menurut para Pemohon selalu berujung konflik dan berujung pada perpecahan organisasi Advokat, menurut Mahkamah hal tersebut merupakan bagian dari dinamika organisasi yang pasti dialami oleh semua organisasi dan harus diselesaikan sendiri secara institusional oleh organisasi masing-masing.
“Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, permohonan para Pemohon bukanlah konstitusionalitas norma tetapi merupakan persoalan implementasi norma akibat tidak dipatuhinya semangat yang terkandung dalam norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian pada pelaksanaan pemilihan pimpinan organisasi Advokat. Oleh karenanya permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” papar Suhartoyo.
Permohonan tersebut diajukan akibat adanya dualisme dalam organisasi advokat yang disebabkan ketidakpuasan dari sebagian anggota atas pemilihan pengurus pusat Peradi. Pemilihan tersebut dinilai dilaksanakan tanpa proses yang terbuka dan demokratis. Para Pemohon berpendapat bahwa seharusnya dalam pemilihan pengurus, khususnya pemilihan ketua setiap anggota dapat memberikan hak suara yang sama (one man one vote one value).
Ikhwan Fahrojih selaku pemohon menjelaskan sesuai amanat UU Advokat hanya ada satu organisasi advokat di Indonesia. Namun, saat ini terdapat dua organisasi advokat yang sama-sama mengaku sebagai satu-satunya organisasi advokat berdasarkan UU Advokat, yaitu Peradi dan Kongres Advokat Indonesia (KAI). Lebih lanjut para Pemohon meminta MK menafsirkan undang-undang a quo terkait penentuan susunan kepengurusan organisasi advokat, melalui mekanisme pemilihan one man one vote (satu advokat, satu suara) dalam pemilihan Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Peradi periode 2015-2020. (Lulu Anjarsari/lul)