Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan permohonan uji materiil Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota tidak dapat diterima. Putusan tersebut diucapkan Kamis (28/7) di ruang sidang pleno MK.
“Amar putusan mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” demikian disampaikan Ketua MK Arief Hidayat selaku Ketua Pleno dalam sidang pengucapan putusan Perkara No. 24/PUU-XIV/2016.
Pemohon perkara tersebut adalah Hasbullah (Pemohon I) dan M. Syaifullah (Pemohon II), keduanya merupakan tokoh agama dan tokoh masyarakat Kabupaten Hulu Sungai Tengah, serta Lembaga Swadaya Masyarakat Komando Pejuang Merah Putih (LSM KPMP) yang bertempat di Banjarmasin (Pemohon III). Para Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 184 UU Pilkada. Menurut para Pemohon, penindakan hukum terhadap penggunaan surat palsu atau ijazah palsu yang dilakukan oleh calon kepala daerah belum dapat dilakukan secara proporsional sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) karena pelaksanaannya mengacu pada time limit Pilkada berdasarkan Pasal 184 UU Pilkada.
Terhadap dalil tersebut, Mahkamah berpendapat Pasal 184 UU Pilkada merupakan ketentuan khusus yang mengatur mengenai tindak pidana pemalsuan surat, antara lain ijazah palsu, yang dilakukan oleh pasangan calon pada waktu pelaksanaan pilkada. Ketentuan tersebut bersifat khusus karena mekanisme penanganan terhadap tindak pidana dalam ketentuan Pasal 184 UU Pilkada dilaksanakan secara speedy trial, yakni memiliki tenggang waktu yang sangat ketat yang dilakukan oleh Sentra Gakkumdu dengan tujuan agar penyelesaian tindak pidana dapat diselesaikan sebelum sengketa pilkada diajukan ke MK.
Oleh karena itu, menurut Mahkamah, tidak ada hak konstitusional para Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya ketentuan yang diujikan. Sehingga, Mahkamah menyatakan tidak ada hubungan sebab akibat antara kerugian dimaksud dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian tersebut.
“Dengan demikian, Pemohon I dan Pemohon II tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo,” kata Hakim Konstitusi Patrialis Akbar mengutip pertimbangan hukum.
Sedangkan Pemohon III yang merupakan badan hukum privat tidak mengajukan alat bukti terkait dengan status hukumnya selaku LSM kepada Mahkamah. Mahkamah menyatakan Pemohon III tidak dapat menjelaskan mengenai kerugian konstitusional yang dialaminya terkait dengan berlakunya Pasal 184 UU Pilkada.
Dengan demikian, menurut Mahkamah, Pemohon III tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 184 UU Pilkada sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 UU MK.
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan, para Pemohon menyatakan KPU tidak memiliki Standard Operating Procedure (SOP) khusus dalam memverifikasi ijasah maupun sertifikat pendidikan yang dimiliki oleh calon gubernur atau wakil, calon bupati atau wakil, calon walikota atau wakil.
Pemohon memberi contoh, di Kabupaten Hulu Sungai Tengah salah satu kandidatnya diduga menggunakan ijasah palsu, namun hukum tidak dapat berbuat apa-apa dengan alasan tahapan verifikasi calon telah terlewati.
Ketentuan Pasal 184 UU Pilkada menyatakan bagi calon pemimpin daerah yang melakukan tindakan penyampaian ijasah palsu dapat memperoleh sanksi yang tepat. Namun pada kenyataannya, Pemohon menilai belum ada klasifikasi yang jelas dalam pelaksanaan ketentuan pasal a quo.
(Nano Tresna Arfana/lul)