Mahkamah Konstitusi (MK) memutus tidak menerima permohonan uji materiil Undang-Undang No 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (UU MA) Pasal 40 ayat (2). Putusan perkara Nomor 92/PUU-XIII/2015 tersebut diucapkan Rabu (28/7), di ruang sidang pleno MK.
“Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Ketua MK Arief Hidayat didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah mengutip pertimbangan hukum dalam Putusan MK Nomor 30/PUU-XIII/2015 yang juga menguji ketentuan mekanisme persidangan di Mahkamah Agung. Pertimbangan hukum dalam putusan tersebut menyatakan pada dasarnya persidangan di MA juga bersifat terbuka untuk umum, namun proses mengadili di MA tidak melalui proses persidangan pemeriksaan yang menghadirkan para pihak.
Lebih lanjut, Mahkamah menyatakan Pasal 40 ayat (2) UU MA yang menyatakan, “Putusan Mahkamah Agung diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum” tidak dapat diartikan secara a contratio (menafsirkan undang-undang didasarkan pada perlawanan pengertian antara peristiwa konkret dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang, red). “Ketentuan a quo sesungguhnya menegaskan pengucapan putusan harus dilakukan dalam persidangan yang terbuka untuk umum, dengan konsekuensi jika sidang pengucapan putusan tidak dilakukan dalam persidangan yang terbuka untuk umum, maka putusan akan menjadi tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” papar Wakil Ketua MK Anwar Usman mengutip pertimbangan hukum.
Selain itu, Mahkamah pun tidak menemukan adanya kerugian konstitusional Pemohon. “Setelah memeriksa bukti-bukti yang diajukan Pemohon, ternyata Pemohon tidak dapat membuktikan bahwa pihaknya mengajukan permohonan uji materil ke Mahkamah Agung,” imbuh Anwar.
Pemohon adalah Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan adanya ketentuan a quo. Menurut Pemohon, UU MA tidak mengatur tata cara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang oleh Mahkamah Agung.
Apabila tata cara persidangan pengujian perundang-undangan di undang-undang oleh MA akan diatur lebih lanjut, seharusnya undang-undang mengatur terlebih dahulu agar MA tidak mengambil peran lembaga legislatif. “Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif tidak sepantasnya mengambil peran DPR dan presiden dengan membuat ketentuan hukum acara lain tanpa diatur terlebih dahulu oleh undang-undang,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Pemohon membandingkan hukum acara di Mahkamah Konstitusi dan di Mahkamah Agung. Menurut Pemohon, hukum acara pengujian UU terhadap UUD 1945 terdapat asas keaktifan hakim yang memberikan nasihat-nasihat kepada Pemohon. Nasihat diberikan agar Pemohon dapat memperbaiki atau menyempurnakan permohonannya. Hal tersebut, dinilai Pemohon berbeda dengan hukum acara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang di Mahkamah Agung. (ARS/lul)