Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan judicial review UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu) terhadap UUD 1945, Rabu (25/07). Persidangan ini mengagendakan Pemeriksaan Perbaikan Permohonan.
Permohonan dengan perkara No. 16/PUU-V/2007 ini diajukan oleh 13 partai politik, antara lain, Partai Persatuan Daerah (PPD), Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB), Partai Bintang Reformasi (PBR), Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PPDK), Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK), Partai Pelopor (PP), Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI), Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD), Partai Serikat Indonesia (PSI), dan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB).
Bahwa dengan diberlakukannya ketentuan ambang batas (electoral threshold) dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu, para Pemohon dalam perkara ini merasa hak konstitusionalnya telah dirugikan karena tak bisa mengikuti Pemilu tahun 2009 mendatang, sebab dalam Pemilu tahun 2004 yang lalu, partai-partai ini memperoleh suara rata-rata kurang dari 3% dari jumlah kursi DPR. Para Pemohon, dalam permohonannya juga menjelaskan bahwa tujuan utama mereka mendirikan partai politik adalah agar dapat mengikuti pemilu seterusnya.
Dalam perbaikan permohonannya, perihal legal standing, para Pemohon menjelaskan bahwa sebagai partai politik, mereka termasuk dalam kategori badan hukum publik yang memiliki anggaran dasar dan tujuan didirikannya organisasi itu serta telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya. Adanya ketentuan ambang batas (electoral threshold) yang diatur dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu tersebut, oleh para Pemohon dianggap potensial menimbulkan kerugian konstitusional bagi para Pemohon (partai politik) karena, pertama, para Pemohon tak dapat lagi mengikuti Pemilu 2009 padahal para Pemohon masih eksis sebagai partai politik. Kedua, para Pemohon akan kehilangan waktu dan biaya yang telah dikeluarkan para Pemohon dalam rangka mendirikan partai politik. Ketiga, para Pemohon juga harus melakukan verifikasi ulang apabila harus ganti nama partai untuk mendirikan partai politik baru, supaya bisa mengikuti pemilu yang akan datang.
Untuk itu, dalam petitumnya, para Pemohon meminta Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28A, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28G, dan Pasal 28I UUD 1945, serta menyatakan Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Terhadap perbaikan ini, para Hakim Panel, antara lain, Prof. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S., H. Achmad Roestandi, S.H., dan Soedarsono, S.H. tak lagi banyak memberikan masukan atau koreksi terhadap permohonan para Pemohon. Di persidangan ini, Ketua Hakim Panel, Prof. Mukthie mengesahkan beberapa alat bukti permohonan. (Wiwik Budi Wasito)