Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perbaikan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (UU MA) dan UU No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), Rabu (26/7). Perkara yang teregistrasi Nomor 53/PUU-XIV/2016 tersebut diajukan Binsar M. Gultom dan Lilik Mulyadi, keduanya berprofesi sebagai hakim.
Dalam persidangan, Pemohon Binsar M. Gultom mengungkapkan sejumlah perbaikan dan penyempurnaan permohonan. Di antaranya, ia menambahkan pandangan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bagir Manan mengenai ketentuan Pasal 23 huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi, soal masa pensiun hakim konsitusi disamakan dengan hakim agung.
“Menurut Pemohon, usia produktif hakim konstitusi dan hakim agung layak dan wajar diberikan predikat usia pensiun selama 70 tahun tanpa dilakukan masa periodisasi. Mereka dapat bertugas selama yang bersangkutan masih sehat walafiat dan eksis bertugas serta berkelakuan baik dan tidak tercela,” papar Binsar kepada Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Dijelaskan Binsar, jabatan hakim konstitusi dan hakim agung sama-sama merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman serta diatur dalam UUD 1945. Kedua jabatan tersebut, jelasnya, bukan merupakan jabatan politik.
“Karena sekali memangku jabatan sebagai hakim, yang bersangkutan berkedudukan sebagai pemangku jabatan karier dengan segala kedudukan, sifat dan konsekuensi yang harus berbeda dengan pemangku jabatan politik,” tegas Binsar.
Perbaikan permohonan berikutnya, Pemohon menguraikan lebih gamblang terkait konstruksi Pasal 6B ayat (2) UU MA soal calon hakim agung berasal dari nonkarier atau bukan hakim. Pasal tersebut menyebutkan, calon hakim agung diutamakan dari profesi hakim karier, kemudian untuk kebutuhan tertentu dapat berasal dari jalur nonkarier.
“Mestinya kebutuhan tertentu dari jalur nonkarier itu baru diperlukan jika mereka memiliki kapakaran, keahlian hukum tertentu seperti pernah diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 yang diperbaharui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung tadi,” urai Binsar.
Namun dalam praktiknya, sambung Binsar, justru sebelum berlakunya UU MA tersebut, DPR dan pemerintah pernah mengangkat hakim agung dari jalur nonkarir, yakni dari profesi akademisi seperti Wirjono, Ketua Mahkamah Agung periode 1952-1966. Kemudian Oemar Seno Adji, Ketua Mahkamah Agung periode 1974-1982.
Pada sidang pemeriksaan pendahuluan, Pemohon mendalilkan telah dirugikan atas ketentuan pasal 6B ayat (2), pasal 7 huruf a angka 4 dan angka 6, pasal 7 huruf b angka 1, angka 2, angka 3 dan angka 4, UU MA yang mengatur mengenai syarat pengangkatan hakim agung melalui jalur nonkarier. Pemohon merasa telah dirugikan hak konstitusionalnya karena ketentuan ini berpotensi menutup karier para hakim dari jalur karier yang puncak kariernya menjadi Hakim Agung.
Menurut Pemohon, ketentuan mengenai pengangkatan hakim agung melalui jalur nonkarier tidaklah tepat. Sebab, yang menjadi tolok ukur dalam persyaratan profesi hakim bukan semata-mata pendidikan akademisnya, akan tetapi pengalaman dan kompetensi hakim didalam mengadili dan memutus perkara di persidangan.
Selain itu persyaratan untuk memiliki pengalaman minimal dua puluh tahun dalam bidang hukum sebagaimana diatur dalam pasal 7 huruf a angka 4 dan angka 6 UU MA dinilai diskriminatif karena hanya mensyaratkan pengalaman dalam jangka waktu tertentu saja tanpa merinci keahlian tertentu dibidang hukum dengan jenjang jabatan dan kepangkatan. Ketentuan tersebut juga dinilai tidak merinci apakah pengalaman yang dimiliki tersebut dilakukan secara terus-menerus selama dua puluh tahun atau tidak.
Selain ketentuan tersebut, Pemohon juga menggugat Pasal 4 ayat (3), Pasal 15 ayat (2) huruf d dan huruf h serta Pasal 22 UU MK yang mengatur tentang masa jabatan ketua, wakil ketua dan hakim konstitusi. Ketentuan tersebut dinilai Pemohon menghambat hakim karier di MA untuk menjadi hakim konstitusi. (Nano Tresna Arfana/lul)