Mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh memperbaiki permohonan uji materiilPasal 67 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU Pemerintah Aceh) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Sidang perbaikan permohoan dengan Nomor 51/PUU-XIV/2016 tersebut digelar Selasa (26/7) di Ruang Sidang Pleno MK.
Supriyadi Adi selaku Kuasa Pemohon menjelaskan telah memperbaiki permohonan sesuai dengan saran Majelis Hakim pada sidang sebelumnya. Pemohon memperbaiki dalil permohonan dan menekankan latar belakang pengajuan permohonan adalah agar dapat mengikuti pemilihan kepala daerah serentak tahun 2017.
“Alasan kami adalah tujuan Pemohon mengajukan permohonan pengujian undang-undang ini adalah agar Pemohon dapat ikut serta dalam pemilihan gubernur di Provinsi Aceh tahun 2017 serentak secara nasional bersama-sama dengan provinsi lainnya,” jelasnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Selain itu, Pemohon memperbaiki petitum-nya menjadi konstitusional bersyarat. Ia meminta MK menyatakan frasa “tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara minimal 5 tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap” dalam Pasal 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintah Aceh bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”.
Dalam permohonannya, Pemohon yang pernah menjalani hukum pidana penjara selama 10 tahun sebagaimana putusan Kasasi Nomor 1344 K/Pid/2005 merasa dirugikan akibat berlakunya norma Pasal 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintah Aceh. Pasal tersebut menyatakan “Calon Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara minimal 5 (lima) tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali tindak pidana makar atau politik yang telah mendapat amnesti/rehabilitasi.”
Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya untuk dipilih sebagai Gubenur Aceh periode 2017-2022 terganjal karena berlakunya pasal tersebut. Menurut pemohon yang diwakili oleh Heru Widodo, implementasi norma larangan dalam Pasal a quo telah dimuat dan diberlakukan dalam Qanun Aceh No. 5 Tahun 2012 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota. Larangan mencalonkan diri kepada seseorang untuk menjadi kepala daerah karena pernah dihukum dengan ancaman hukuman 5 tahun atau lebih merupakan aturan yang sewenang-wenang, sehingga seakan-akan pembuat undang-undang menghukum seseorang tanpa batas waktu selamanya tidak berhak menjadi kepala daerah. Selain itu, ketentuan a quo akan menghambat seseorang untuk berpartisipasi secara aktif dalam salah satu agenda demokrasi di negara ini.
Kemudian Pemohon juga mendalilkan dengan diberlakukannya norma larangan dalam pasal yang dimohonkan di wilayah Provinsi Aceh sebagai satu kesatuan dalam wadah NKRI tersebut, tidak selaras dengan pemberlakuan norma yang diuji dan bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan UU No. 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. (Lulu Anjarsari/lul)