Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji Undang Undang No 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPNBM), Senin (25/7). Sidang perkara teregistrasi No. 39/PUU-XIV/2016 tersebut beragenda mendengar keterangan ahli yang dihadirkan Pemerintah dan saksi Pemohon.
Hadir sebagai ahli Pemerintah, Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun dan Guru Besar Perpajakan Universitas Indonesia Gunadi. Sedangkan Pemohon menghadirkan saksi dari unsur konsumen, pedagang komoditi, dan pedagang pemakai komoditi.
Dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat, Refly mengkritisi tentang obyek yang dianggap diskriminasi oleh Pemohon berupa komoditas kebutuhan pokok. Sepanjang pengetahuannya, Refly menjelaskan diskriminasi itu ditujukan pada orang, bukan terhadap komoditas kebutuhan pokok. “Ini terkesan seolah-olah ubi dan ikan didiskriminasikan kemudian dikenakan PPN. Padahal, maksud diskriminasi ini perlakuan diskriminasi terhadap orang, baik sebagai warga negara maupun sebagai penduduk,” jelasnya.
Kemudian, imbuhnya, norma Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPNBM berlaku kepada semua orang, tidak hanya berlaku kepada kelompok Pemohon. “Kecuali ketentuan ini hanya tidak berlaku untuk kelompok Pemohon, maka kemudian dalil diskriminasi dapat dikatakan logis,” jelas Refly.
Adapun Gunadi menyinggung tentang penyebutan 11 jenis barang kebutuhan pokok dalam penjelasan pasal yang diujikan. Baginya, penyebutan tersebut sudah sesuai dan tidak dapat dianggap sebagai pembatasan norma hukum. “Sebab, dalam suatu undang-undang diperlukan suatu definisi operasional. Sehingga di dalam pelaksanaanya itu dapat diketahui dengan pasti,” kata dia.
Kenaikan Harga
Sementara, salah satu saksi yang dihadirkan pemohon, yakni penjual kebutuan pokok, Sumarni, menyebut setiap tahunnya, dapat terjadi kenaikan harga kacang hijau sebanyak tiga kali. Dirinya selaku penjual mengaku selalu membeli dagangannya pada distributor dan tak ada alasan pasti kenapa ada kenaikan harga. “Bagi saya ini merugikan sebab membuat penurunan pada jumlah dagangan,” ujarnya.
Pada sidang sebelumnya, Pemohon yang terdiri dari Doli Hutari ibu rumah tangga dan konsumen komoditas pangan serta Sutejo pedagang komoditas pangan di Pasar Bambu Kuning, merasa dirugikan dengan diberlakukannya Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPNBM. Sebab, Pemohon merasa mendapat perlakuan berbeda ketika akan mengakses komoditas pangan pangan nonberas, antara lain berupa kacang-kacangan lantaran komoditas tersebut dikenai PPN.
Diwakili Shilviana sebagai kuasa hukum, Pemohon menyatakan pengenaan PPN terhadap produk-produk tersebut berimbas pada maraknya komoditas impor hasil selundupan yang tidak membayar PPN dan bea masuk. “Ini mengakibatkan disparitas harga sangat jauh, sehingga produk tersebut menjadi kalah bersaing dengan komoditas pangan ilegal,” jelasnya.
Di sisi lain, Pemohon menilai penjelasan dalam pasal tersebut hanya menyertakan 11 jenis kategori pangan yang tidak dikenakan PPN, sedangkan komoditas lainnya dikenakan PPN. Ini menyebabkan komoditas pangan di luar 11 jenis tersebut menjadi lebih mahal. “Efek lainnya juga membuat kebutuhan pangan, gizi masyarakat, serta identitas kuliner bangsa terancam tidak dapat dipenuhi,” ujarnya menegaskan. (ars/lul)