Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana perkara Pengujian Undang-Undang MK yang diajukan seorang ibu rumah tangga, Sri Royani pada Rabu (20/7) di Ruang Sidang Pleno MK. Sri menggugat ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal 10 ayat (1) huruf a, Pasal 30 huruf a, Pasal 51 ayat (1), Pasal 51 ayat (3) huruf b, Pasal 51A ayat (1), Pasal 51A ayat (2) huruf b, Pasal 56 ayat (3), Pasal 57 ayat (1), dan Pasal 59 UU MK. Keseluruhan pasal-pasal tersebut mengatur mengenai kewenangan MK untuk mengadili perkara pengujian undang-undang.
Dalam permohonannya, Pemohon meminta MK untuk juga memeriksa dan mengadili perkara constitutional complaint. Hal tersebut dilatarbelakangi kasus konkret akibat kelalaian penegak hukum dalam menangani kasus penipuan dan pengelapan yang menimpa Pemohon. Pemohon menguraikan bahwa dalam menangani kasusnya, pihak kepolisian telah salah menerapkan norma undang-undang yang pada akhirnya merugikan hak konstitusional Pemohon.
Hadir tanpa didampingi kuasa hukum, Sri menyampaikan latar belakang permohonan perkara yang teregistrasi dengan No. 52/PUU-XIV/2016 di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo. Menurut paparannya, Pemohon melaporkan kasus penipuan ke Polda Jabar pada 2011 yang sampai saat ini belum selesai. Ia menduga kasus yang dilaporkannya belum juga usai disebabkan pihak kepolisian salah menerapkan norma undang-undang.
Sebagai salah satu upaya lanjutan dari kasus yang dilaporkannya, Sri berharap MK dapat memiliki kewenangan constitutional complaint seperti negara-negara lain. Ia yakin dengan adanya kewenangan constitutional complaint, MK dapat memberikan perlindungan yang maksimal terhadap hak-hak dasar warga negara.
“Mahkamah Konstitusi belum mempunyai kewenangan constitutional complaint ini. Hal ini (constitutional complaint, red) tentunya diperlukan di Indonesia mengingat banyaknya pelanggaran hak dasar warga negara dan abuse of power oleh pejabat publik, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif,” urainya.
Setelah mendengarkan paparan Pemohon, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams selaku anggota Majelis Hakim memberikan nasihat agar Pemohon lebih detail menguraikan kerugian konstitusional yang dialaminya. Bila Pemohon meminta penambahan kewenangan constitutional complaint, Wahiduddin menyarankan agar Pemohon Pemohon fokus pada persoalan norma yang diduga mengandung problem konstitusionalitas kemudian mengujinya dengan pasal dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Legislative Review
Sementara Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna mengkritisi petitum yang dirumuskan Pemohon. Berdasarkan petitum permohonan, Palguna melihat Pemohon meminta Mahkamah untuk memberikan rumusan baru atau norma baru. Tentu saja, Palguna mengingatkan bahwa Mahkamah tidak berwenang untuk membuat norma baru.
“Tapi kalau tafsir seperti yang Ibu minta itu bukan tafsir namanya, itu rumusan baru, norma baru itu, seperti yang Ibu sampaikan dalam 14 poin petitum yang Ibu buat di belakang itu. Jadi kalau saya menyarankan, lebih bagus kalau sebenarnya ini disampaikan kepada pembentuk undang-undang, khususnya DPR yang sekarang sedang membicarakan tentang perubahan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, kalau memang niatnya Ibu adalah seperti yang dimohon dalam permohonan ini. Bukan judicial review, jadi ini sebenarnya lebih baik jadi materi legislative review,” saran Palguna.
Sebelum menutup sidang, Suhartoyo mengingatkan Pemohon untuk menyerahkan perbaikan permohonan paling lambat 2 Agustus 2016, pukul 10.00 WIB. (Yusti Nurul Agustin/lul)