Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang terakhir uji materiil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) pada Selasa (19/7) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang perkara dengan Nomor 25/PUU-XIV/2016 tersebut diajukan oleh 6 orang pegawai negeri sipil (PNS).
Dalam sidang tersebut, seharusnya diagendakan mendengarkan keterangan ahli dari Mantan Bupati Waropen Yesaya Buinay selaku Pihak Terkait. Akan tetapi, Ahli Pemohon tidak dapat hadir. Hal tersebut disampaikan oleh kuasa hukum Yesaya Buinay, Pieter Ell yang meminta agar sidang ditunda.
“Satu orang Ahli pada dasarnya sudah siap, yang dijadwalkan persidangan sebelumnya tanggal 19 ya, minggu yang lalu, sesuai dengan jadwal sidang. Tetapi karena ada penundaan maka ahli berhalangan hadir, sekiranya mungkin masih diberikan kesempatan maka ahli akan hadir pada persidangan berikutnya, satu orang ahli,” paparnya di hadapan Majelis Hakim.
Menanggapi hal tersebut, Ketua MK Arief Hidayat meminta agar keterangan Ahli diserahkan secara tertulis. Oleh karena itu, Arief menjelaskan tidak perlu adanya tambahan sidang kembali.
Dalam permohonannya, Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Para pemohon menilai frasa “atau orang lain atau suatu korporasi”dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor sangat merugikan mereka dalam menjalankan tugas dan kewenangannya pada jabatan pemerintahan pusat ataupun daerah. Sebab, dalam menjalankan tugasnya, para Pemohon tidak dapat menghindari tindakan mengeluarkan keputusan, khususnya dalam hal penentuan pelaksana proyek pemerintahan yang dipastikan menguntungkan orang lain atau suatu korporasi.
Selain itu, Pemohon menyebutkan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, membuat Pemohon selalu diliputi rasa khawatir dan rasa tidak aman dalam mengambil setiap kebijakan atau keputusan. Hal tersebut karena setiap keputusan yang diambil akan selalu berisiko untuk dinyatakan sebagai kejahatan korupsi, walaupun keputusan tersebut menguntungkan bagi rakyat. Menurutnya, kata “dapat” dalam ketentuan tersebut dapat menjadikan tindak kriminalisasi terhadap ASN/PNS karena unsur merugikan keuangan negara. (Lulu Anjarsari/lul)