Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materi Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 284 ayat (1) sampai ayat (5), Selasa (19/7). Sidang perkara teregistrasi Nomor 46/PUU-XIV/2016 tersebut beragenda mendengarkan keterangan Presiden dan DPR.
Saat persidangan, pemerintah diwakili Direktur Litigasi, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan, Kementerian Hukum dan HAM Yunan Hilmy menyebut pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing). Pemerintah tidak menemukan hubungan sebab akibat antara kerugian konstitusional yang dialami oleh para Pemohon berlakunya pasal a quo yang dimohonkan untuk diuji.
“Pemerintah juga telah mempelajari permohonan Pemohon dalam mengajukan uji meteril ini. Pada pokoknya para Pemohon mendasarkan pada pandangan-pandangan keilmuannya yang kemudian menganggap pasal-pasal a quo tidak lagi sesuai dengan perkembangan hukum di Indonesia,” jelas Yunan.
Lainnya, Pemerintah menilai Pemohon mengajukan uji materiil KUHP tanpa didasarkan pada kerugian konstitusional yang nyata, melainkan sebatas pandangan Pemohon pada norma dalam KUHP, terutama masalah perzinahan dan pemerkosaan pada pasal a quo yang menurut Pemohon tidak sesuai lagi untuk diterapkan.
Pemerintah, imbuhnya, berkesimpulan tidak tepat jika hal tersebut digunakan sebagai alasan untuk mengajukan uji materi di MK. Tetapi lebih tepat jika dijadikan bahan masukan dalam pembentukan undang-undang atau dalam rangka memberikan masukan perubahan KUHP yang sekarang sedang dibahas di DPR.
Menanggapi keterangan Pemerintah, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar mempertanyakan alasan Pemerintah yang sedang membahas perubahan ketentuan yang diujikan dengan DPR. “Jika memang tidak bertentangan dengan Konstitusi mengapa hal itu dilakukan?” tanyanya.
Ketua MK Arief Hidayat menyarankan agar pertanyaan itu dijawab secara tertulis saja. “Nanti dikonsultasikan pada Dirjen PP atau menterinya, ya. Nanti Anda menjawab juga, nanti keliru nanti, ya. Silakan nanti dikonsultasikan, kemudian dijawab secara tertulis,” kata dia.
Sedangkan DPR tidak hadir dalam persidangan tersebut. Agenda sidang selanjutnya disepakati pada Selasa, 26 Juli 2016 pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan ahli yang diajukan oleh Pemohon.
Sebelumnya, sejumlah warga negara mengajukan uji materiil KUHP lantaran merasa dirugikan hak konstitutionalnya untuk mendapatkan kepastian hukum dan perlindungan sebagai pribadi, keluarga, dan masyarakat atas berlakunya pasal yang mengatur mengenai perzinaan, perkosaan, dan pencabulan tersebut.
“Apalagi kita sadari KUHP disusun para ahli hukum Belanda yang hidup ratusan tahun lampau. Tentulah keadaan masyarakat pada saat penyusunannya sudah sangat jauh berbeda dengan masa kini,” jelas Evi Risna Yanti mewakili Pemohon.
Selain itu, Evi menegaskan KUHP disusun oleh mereka yang tak meyakini Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Oleh karena itu, menurutnya, dapat dipastikan tidak sepenuhnya ketentuan dalam KUHP sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang menjiwai setiap hukum positif di Indonesia. Evi menilai pasal-pasal terkait perzinahan tersebut tidak cukup jelas untuk melindungi hak konstitusional para Pemohon. (ars/lul)