Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji Undang Undang No 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UU PPN), Senin (18/7) di ruang sidang MK. Sidang perkara teregistrasi Nomor 39/PUU-XIV/2016 beragenda mendengar keterangan DPR dan ahli yang dihadirkan Pemohon. Namun, DPR tidak hadir dalam persidangan.
Dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat tersebut, Pemohon menghadirkan tiga orang ahli, yakni Ahli Pangan dan Gizi sekaligus Guru Besar Institut Pertanian Bogor Hardinsyah, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, serta Ahli Hukum Perundang- undangan Universitas Indonesia Sony Maulana Sikumbang.
Sony menyebut Penjelasan Pasal 4 ayat (2) huruf b UU PPN telah melebihi fungsinya sebagai tafsir resmi dari pembentuk peraturan perundang-undangan, yakni untuk memperjelas ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang dibentuknya itu.
“Penjelasan telah mempersempit norma yang dari pasal yang dia jelaskan. Penjelasan telah mengandung dan menciptakan penormaan yang baru. Kedua hal ini jelas bertentangan dengan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan,” katanya.
Sedangkan sebagai Ahli Perpajakan, Yustinus memandang ada kontradiksi ketika ia menilai sangat mudah pemerintah memberikan insentif pajak pada kelompok kaya. Namun, untuk kelompok masyarakat luas, justru pemerintah mengenakan PPN, terutama terhadap barang kebutuhan pokok.
“Jika kami bandingkan dengan beberapa negara yang menerapkan pajak pertambahan nilai, beberapa negara ASEAN seperti Thailand, Malaysia, dan Vietnam justru memberikan pembebasan terhadap barang kebutuhan pokok berupa hasil pertanian. Lalu India, Maroko, dan Ghana juga memberikan pembebasan terhadap barang kebutuhan pokok semua bahan pangan,” ujarnya
Kebutuhan Dasar
Sementara Hardinsyah, dalam keterangannya, memfokuskan pada empat hal. Pertama, tentang pangan sebagai kebutuhan dasar dan faktor yang mempengaruhinya. Kedua, tentang kebutuhan gizi dan pangan penduduk Indonesia dan pentingnya pangan untuk hidup sehat, cerdas, dan produktif. Ketiga, tentang pola konsumsi pangan penduduk Indonesia yang beragam dari barat sampai ke timur. Keempat, tentang pengaruh kenaikan harga komoditas pangan terhadap konsumsi.
“Disadari bahwa pemenuhan kebutuhan pangan, khususnya bagi rakyat Indonesia dijamin di dalam konstitusi kita. Kemudian juga dalam kaitannya dengan deklarasi internasional, kesepakatan internasional, yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Tanpa pangan tubuh manusia tidak akan bisa memperoleh zat gizi, dan tanpa zat gizi tubuh manusia tidak akan bisa bergerak, tidak akan bisa berpikir, tidak bisa bekerja, bahkan tidak akan bisa bernafas,” ujarnya.
Hardin menjelaskan berdasarkan indeks gini selama 2005-2013, kesenjangan antara masyarakat kaya dan miskin semakin lebar. “Orang-orang miskin atau di bawah 40% nilai ekonomi secara keseluruhan mempunyai daya beli yang semakin rendah, sementara orang kaya semakin meningkat daya belinya. Begitu juga kalau dibanding Indonesia barat dan Indonesia timur. Di timur juga semakin rendah daya belinya dibanding dengan di wilayah barat,” jelasnya.
Oleh karena itu, menurutnya, mempertimbangkan hal tersebut, ada ketidakadilan dalam konteks mempertimbangkan budaya makan seandainya hanya 11 kelompok komoditas pangan dalam UU PPN yang tidak dikenakan PPN. ”Juga ada kurangnya perhatian seakan-akan tambah memarginalkan kelompok-kelompok ekonomi bawah dibanding dengan kelompok-kelompok ekonomi atas,” tutupnya.
Pada sidang sebelumnya, Doly Hutari sebagai ibu rumah tangga dan konsumen komoditas pangan serta Sutejo, pedagang komoditas pangan di Pasar Bambu Kuning merasa dirugikan dengan diberlakukannya Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN.
Pemohon menyatakan pengenaan PPN terhadap produk-produk di luar 11 komoditas yang terdapat dalam Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN berimbas pada maraknya komoditas impor hasil selundupan yang tidak membayar PPN dan bea masuk. “Ini mengakibatkan disparitas harga sangat jauh, sehingga produk tersebut menjadi kalah bersaing dengan komiditas pangan ilegal,” jelasnya. (ars/lul)