Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruhnya permohonan pengujian UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Putusan dengan Nomor 90/PUU-XIII/2015 tersebutdibacakan pada Kamis (14/7) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Arief Hidayat membacakan putusan permohonan yang diajukan oleh RJ. Soehandoyo.
Dalam pokok permohonan yang dibacakan Hakim Konstitusi Suhartoyo tersebut, Mahkamah menilai sebagai follow up crime, untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam perkara TPPU tetap harus didahului dengan adanya tindak pidana asal. Namun tindak pidana asal tersebut tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu. “Jadi frasa ‘tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu’ bukan berarti tidak perlu dibuktikan sama sekali, namun TPPU tidak perlu menunggu lama sampai perkara pidana asalnya diputus atau telah memperoleh kekuatan hukum tetap,” ujarnya .
Suhartoyo menjelaskan dalam perkembangannya, kejahatan semakin terorganisasi, bahkan sampai melintasi batas yurisdiksi nasional negara-negara. Kejahatan terorganisasi tersebut semakin didukung dengan teknologi yang berkembang pesat. Pemberantasan kejahatan ini semakin tertinggal jauh dari modus yang semakin variatif dan kompleks merambah berbagai sektor. TPPU menjadi jalan keluar bagi pelaku kejahatan untuk “menyelamatkan” harta kekayaan hasil kejahatannya dan menghindar dari jeratan hukum.
Untuk itu, lanjutnya, penegakan hukum dalam pemberantasan TPPU haruslah bergerak lebih cepat dari pemberantasan tindak pidana biasa. Sebab, jika tidak maka akan kehilangan jejak dan bukan hanya TPPU yang tidak dapat dibuktikan, tetapi tindak pidana lain yang berkaitan, termasuk tindak pidana asal, juga bisa kehilangan bukti. Jika demikian maka negara dan masyarakat akan sangat dirugikan, bukan hanya karena kerugian materil dari harta kekayaan yang telah dicuci, tetapi kerugian karena tidak terungkapnya kejahatan.
Sistem penanganan perkara TPPU yang diatur dalam UU TPPU, lanjut Suhartoyo, sesungguhnya memberikan kemudahan dalam penegakannya. Pasal 69 UU TPPU menjadi salah satu ketentuan yang mempermudah dan mempercepat gerak penegak hukum dalam penanganan TPPU. Sebaliknya, jika dalam penanganan TPPU harus terlebih dahulu dibuktikan tindak pidana asal yang mungkin lebih rumit dalam pembuktian, terlebih apabila harus menunggu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Keadaan demikian, lanjutnya, akan menghabiskan waktu lama, sehingga penanganan perkara TPPU akan sangat terlambat. Hal tersebut tidak bersesuaian dengan semangat UU TPPU untuk menangani TPPU dengan cepat dan tepat, serta akan memberi kesempatan kepada tersangka TPPU untuk menghilangkan jejak hasil tindak pidananya.
“Oleh karena itu, menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 69 yang mengatur bahwa untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap TPPU tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan telah pula bersesuaian dengan semangat pemberantasan tindak pidana terorganisir,” terang Suhartoyo.
RJ Soehandoyo merasa hak konstitusionalnya terlanggar karena Penyidik Polda Sulawesi Tenggara dalam menetapkan Pemohon menjadi tersangka menggunakan dasar hukum ketentuan Pasal 69 UU 8/2010. Namun, Pemohon berpendapat bahwa penyidik tidak dapat menetapkan Pemohon menjadi tersangka TPPU karena perkara awalnya bukan tindak pidana pencucian uang, melainkan tindak pidana perbankan. Oleh karena itu, Pemohon meminta kepada MK untuk menyatakan ketentuan Pasal 69 UU Nomor UU TPPU bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pemohon sendiri merupakan Komisaris PT Panca Lomba Makmur, sebuah perusahaan logam mulia di Kabupaten Bombana Sulawesi Tenggara, yang menjadi tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana pencucian uang. (Lulu Anjarsari/lul)