Permohonan uji materi Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) ditolak Mahkamah Konstitusi pada sidang pengucapan putusan MK, Kamis (14/7). Permohonan yang teregistrasi sebagai Perkara No. 23/PUU-XIV/2016 tersebut diajukan oleh Joko Handoyo dkk dari sejumlah serikat buruh dan pimpinan perusahaan di wilayah Jawa Timur.
“Konklusi, berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum tersebut di atas, Mahkamah berkesimpulan, Mahkamah berwenang mengadili permohonan para Pemohon. Para Pemohon mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Permohonanpara Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Amar putusan, menyatakan menolak permohonan para Pemohon,” tegas Ketua MK Arief Hidayat didampingi para Hakim Konstitusi lainnya mengucapkan amar putusan di ruang sidang pleno MK.
Mahkamah berpendapat, Pasal 1 angka 2 UU PPHI masuk dalam Bab I Ketentuan Umum yang menurut Lampiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan berisi pengertian atau definisi, singkatan atau akronim yang berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah. Pasal 1 angka 2 undang-undang a quo mengatur mengenai definisi “perselisihan hak” yang berfungsi untuk menjelaskan makna kalimat “perselisihan hak” dalam Pasal 1 angka 11 dan angka 12, Pasal 2 huruf a, Pasal 56 huruf a, Pasal 86, Pasal 110, serta Pasal 114 UU PPHI.
Menurut Mahkamah, apabila mencermati definisi “perselisihan hak” dalam ketentuan a quo, jika dikaitkan dengan Pasal 2 huruf a dan Pasal 56 huruf a UU PPHI, definisi “perselisihan hak” tersebut dimaksudkan untuk memperjelas objek perselisihan hak yang menjadi kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial. Apabila tidak ada pembedaan jenis perselisihan hak tersebut, hal itu justru akan menyebabkan tumpang tindih kewenangan antara Pengadilan Hubungan Industrial dan Pengadilan Negeri karena kedua pengadilan a quo mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan perselisihan hak.
Dengan demikian, menurut Mahkamah, bila dikaitkan dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya murah, ketentuan yang diujikan justru lebih menguntungkan Pemohon karena perselisihan hak tersebut dapat diselesaikan melalui Pengadilan Hubungan Industrial sehingga dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat. Sebab, Pengadilan Hubungan Industrial menganut sistem peradilan cepat selambat-lambatnya 50 hari untuk tingkat pertama dan selambat-lambatnya 30 hari untuk Mahkamah Agung tanpa melalui upaya hukum banding di pengadilan tinggi.
Selain itu, penyelesaian perselisihan melalui Pengadilan Hubungan Industrial membuat kepentingan pekerja telah terwakili dengan adanya satu hakim ad hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh pekerja/serikat buruh. Bila frasa “ketentuan peraturan perundang-undangan” dihapus dari ketentuan Pasal 1 angka 2 UU PPHI, justru merugikan Pemohon. “Sebab, jika terjadi keadaan tidak dipenuhinya hak buruh/pekerja karena adanya perbedaan penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, harus diselesaikan melalui gugatan perdata di Pengadilan Negeri yang memerlukan waktu lama dan biaya yang tidak sedikit, sehingga justru lebih memberatkan pekerja, baik secara finansial maupun waktu,” papar Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna membacakan pertimbangan hukum.
Pemohon mendalilkan, sejak berlakunya Undang-Undang PPHI, tidak ada aturan yang menyatakan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan dilarang menerima laporan dan sekaligus menyelesaikannya, tetapi sejak adanya perselisihan hak, hal tersebut digunakan sebagai alasan hingga berdampak tidak maksimalnya penanganan laporan terkait dugaan pelanggaran Undang-Undang Ketenagakerjaan yang dilakukan pengusaha. Sekaligus sebagai alasan dalam rangka menyarankan pekerja untuk memperselisihkan setiap laporan dugaan pelanggaran Undang-Undang Ketenagakerjaan melalui proses mediasi yang selanjutnya bila diperlukan melakukan gugatan di Pengadilan Hubungan Industrial.
Mencermati dengan saksama dalil Pemohon, Mahkamah menilai pokok permasalahan yang dialami Pemohon sesungguhnya bukan disebabkan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan, melainkan akibat penerapan norma yang tidak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ada.
Sebelumnya dalam pemeriksaan pendahuluan, Pemohon menyampaikan bahwa ketentuan dalam UU PPHI yang sedang digugat ini berpotensi untuk menghilangkan adanya kepastian hukum bagi Pemohon karena untuk dapat memperoleh hak normatifnya, seorang pekerja harus melalui serangkaian langkah hukum. Sementara dalam pandangan pemohon ketentuan-ketentuan yang mengatur hal tersebut telah dirancang sedemikian rupa untuk mempersulit terpenuhinya hak pekerja yang bersangkutan.
Pemohon juga berpendapat bahwa keberadaan dan definisi “perselisihan hak” dalam ketentuan a quo dengan sengaja dibuat seolah-olah perlu adanya penambahan atau perluasan lingkup perselisihan, padahal hanya sebagai upaya untuk melindungi atau memberi kebebasan pengusaha dalam melaksanakan kewajibannya, yaitu dalam memberikan hak–hak pekerja/buruh tanpa harus khawatir dengan akibat hukumnya. (Nano Tresna Arfana/lul)