Pemohon uji materi Undang-Undang No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa akhirnya mencabut permohonannya. Mahkamah Konstitusi mengabulkan penarikan permohonan tersebut pada sidang pengucapan putusan, Kamis (14/7) di ruang sidang Pleno MK.
“Menetapkan, mengabulkan penarikan kembali permohonan Nomor 19/PUU-XIV/2016 mengenai pengujian Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” demikian disampaikan Ketua MK Arief Hidayat didampingi para hakim konstitusi lainnya.
Terhadap permohonan a quo, Mahkamah telah melakukan pemeriksaan pendahuluan melalui sidang panel pada 24 Februari 2016 dan 8 Maret 2016. Bahwa Pemohon melalui kuasa hukumnya mengajukan surat bertanggal 15 Juni 2016, yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada hari yang sama, menyatakan mencabut permohonan a quo.
Bahwa terhadap permohonan pencabutan atau penarikan kembali tersebut, Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) pada Kamis 23 Juni 2016, telah menetapkan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan beralasan menurut hukum.
Penarikan kembali permohonan dapat dilakukan Pemohon berdasarkan Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan, ”Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan”, dan ”Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Permohonan tidak dapat diajukan kembali”.
Sebelumnya, Frederick Rachmat selaku Pemohon mendalilkan adanya klausul pengekangan sementara waktu dalam penyanderaan sebagaimana diatur dalam UU Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa ternyata memiliki persamaan dengan tindakan penangkapan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 20 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Hal tersebut, menurut Pemohon, berbeda dengan Pasal 1 angka 20 KUHAP yang telah memiliki check and balance system atas tindakan penangkapan oleh aparat pemerintah yakni melalui mekanisme pranata praperadilan, sedangkan Pasal 34 ayat (3) UU Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa tidak memiliki check and balance system atas tindakan penyanderaan oleh aparat pemerintah.
Pemohon mendalilkan, materi dalam Pasal 34 ayat (3) undang-undang tersebut dengan jelas mengatur terhadap pelaksanaan Surat Perintah Penyanderaan dapat diajukan gugatan. Namun, maksud dan tujuan gugatan yang diatur dalam pasal a quo hanya sebatas terhadap teknis pelaksanaan Surat Perintah Penyanderaan, bukan menyangkut substansi perkara pokok yaitu masalah kewajiban pembayaran pajak yang harus dilaksanakan oleh Pemohon. Padahal persoalan hutang pajak dan cara bagi aparat pemerintah dalam menagih pajak guna pencapaian penerimaan negara masih perlu dicarikan cara yang lebih kondusif.
Dijelaskan Pemohon, Pasal 33 ayat (1) UU a quo pun mengandung multitafsir khususnya pada frasa “itikad baik” dari sudut pandang aparat pemerintah maupun penanggung pajak atau Pemohon. Tindakan melakukan pembayaran pajak lebih dari 50% oleh Pemohon, seharusnya dipandang sebagai suatu itikad baik sehingga aparat pemerintah yaitu Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bekasi Selatan tidak sepatutnya melakukan penyanderaan. (Nano Tresna Arfana/lul)