Mahkamah Konstitusi memutuskan permohonan uji materi Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (UU Peradilan Umum) tidak dapat diterima. Putusan perkara No. 5/PUU-XIV/2016 tersebut diucapkan Kamis (14/7) di ruang sidang pleno MK.
”Amar putusan mengadili, menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Ketua MK Arief Hidayat didampingi para hakim konstitusi lainnya pada sidang pengucapan putusan.
Mahkamah berpendapat tidak ada kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon dengan berlakunya Pasal 60 UU Peradilan Umum sehingga Pemohon tidak memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah mengutip Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi beserta penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah:
a. mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang yaitu: perorangan warga negara Indonesia, termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama; b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;c. badan hukum publik atau privat; d. lembaga negara.
Dengan demikian, menurut Mahkamah, Pemohon harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu kedudukannya untuk mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK. Termasuk juga kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.
Dalam permohonannya, Pemohon menjelaskan sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang merasa dirugikan secara materiil maupun secara immateriil dengan berlakunya Pasal 60 UU Peradilan Umum. Kerugian materiil Pemohon adalah pelaksanaan putusan yudisial yang dilaksanakan oleh Panitera Pengadilan Negeri Selong berdasarkan ketentuan tersebut. Adapun kerugian immateriil adalah ketentuan tersebut telah mengganggu kondisi para Pemohon seperti kehidupan, kesehatan, kebebasan dan kepemilikan karena diambil tanpa mekanisme hukum.
“Menurut Mahkamah, walaupun benar bahwa para Pemohon merupakan pihak yang telah dikalahkan dalam sebuah perkara di pengadilan yang berimbas pada tereksekusinya barang yang dimiliki Pemohon, hal tersebut bukan merupakan tindakan kesewenang-wenangan panitera, melainkan pelaksanaan kewajiban yang diberikan Undang-Undang dalam mengeksekusi putusan hakim terhadap suatu perkara konkret tertentu,” ujar Hakim Konstitusi Aswanto membacakan pertimbangan hukum.
Aswanto mengimbuhkan, apabila dalam praktik ternyata ada tindakan panitera yang dipandang merugikan para pihak, hal itu bukanlah dikarenakan inkonstitusionalnya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian, melainkan merupakan kekeliruan dalam pelaksanaan atau eksekusi putusan. “Apabila terdapat keberatan terhadapnya dapat diajukan gugatan sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku,” jelasnya.
Sebelumnya, Zaenal Aripin dkk sebagai Pemohon merasa dirugikan atas pelaksanaan eksekusi terhadap hak atas atas tanah milik para Pemohon oleh Pengadilan Negeri Selong yang didasari Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor 24/PDT/1995 karena tanpa melalui proses hukum dan para Pemohon bukan merupakan para pihak yang berperkara. Menurut Pemohon, hal tersebut merupakan akibat dari ketentuan Pasal 60 UU Peradilan Umum yang dijadikan sebagai dasar hukum Panitera Pengadilan Negeri Selong melaksanakan eksekusi terhadap harta benda Pemohon.
Ketentuan Pasal 60 UU Peradilan Umum menyatakan bahwa dalam perkara perdata, panitera Pengadilan Negeri bertugas melaksanakan putusan pengadilan, namun dalam ketentuan a quo tidak menjelaskan putusan yang mana yang dilaksanakan sehingga bertentangan dengan hak konstitusional Pemohon yang dilindungi oleh Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. (Nano Tresna Arfana/lul)