Dua orang hakim ad hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial, Mustofa dan Sahala Aritonang menggugat ketentuan dalam Pasal 67 ayat (2) Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI). Pasal tersebut mengatur mengenai pembatasan masa jabatan hakim Pengadilan Hubungan Industrial. Para pemohon menilai ketentuan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum.
Nova Harmoko selaku kuasa hukum Pemohon hadir menyampaikan pokok permohonan pada sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (13/7). Mewakili para Pemohon, Harmoko meminta Mahkamah menyatakan Pasal 67 ayat (2) UU PPHI bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Hal tersebut didasari anggapan para Pemohon bahwa pasal a quo telah mendiskriminasi para hakim ad hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial. Seperti diketahui, pasal a quo menyatakan masa tugas hakim adhoc untuk jangka waktu lima tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan. Menurut Pemohon, periodisasi semacam itu tidak diatur bagi hakim di lingkungan peradilan lainnya di bawah Mahkamah Agung (MA) sehingga menimbulkan diskriminasi bagi Pemohon.
Selain itu, periodisasi hakim ad hoc juga dianggap Pemohon menimbulkan masalah yang berkaitan dengan keberlanjutan penyelesaian, pemeriksaan, dan pemutusan perkara perselisihan hubungan industrial. Dengan adanya periodisasi tersebut, Pemohon khawatir tidak dapat menuntaskan perkara perselisihan hubungan industrial yang seharusnya memberikan perlindungan yang adil bagi pekerja dan pemerintah.
Dalam permohonannya, Pemohon juga menyatakan periodisasi jabatan hakim ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial menimbulkan ketidakpastian karir sebagai hakim Pengadilan Hubungan Industrial. Padahal, pola rekruitmen yang ditentukan untuk menyaring “peminat” sebagai hakim ad hoc pengadilan tersebut dinilai sangat ketat dan selektif, hingga melibatkan presiden, MA, dan KY. Pemohon menginginkan, hakim ad hoc pada PHI dapat menjabat hingga batas usia pensiun. Oleh karena itu, Pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 67 ayat (2) UU PPHI konstitusional bersyarat.
“Menyatakan Pasal 67 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial selengkapnya berbunyi, ‘Masa tugas hakim ad hoc untuk jangka waktu 5 tahun dan dapat diangkat untuk satu kali masa jabatan’ berlaku konstitusional bersyarat jika berbunyi, ‘Masa jabatan hakim ad hoc adalah untuk jangka waktu 5 tahun yang dapat diangkat kembali setiap 5 tahun oleh Ketua Mahkamah Agung hingga mencapai batas usia pensiun, yakni 62 tahun untuk ad hoc pada pengadilan negeri dan 67 tahun untuk hakim ad hoc pada Mahkamah Agung Republik Indonesia,” papar Harmoko.
Saran Hakim
Usai mendengarkan paparan tersebut, Patrialis Akbar selaku anggota panel hakim menyampaikan saran agar Pemohon memperjelas kerugian konstitusional dan kedudukan hukum yang dipakai untuk mengajukan permohonan teregistrasi Nomor 49/PUU-XIV/2016 tersebut. “Terkait dengan masa jabatan hakim ad hoc ini, apakah betul kerugian konstitusional yang dirasakan oleh para Pemohon ini bersumber dari sistem pengangkatan atau pemberhentian hakim ad hoc, sehingga dinyatakan memiliki kerugian konstitusional?” tanya Patrialis.
Terkait dalil Pemohon yang menyatakan ketentua a quo menimbulkan diskriminasi, Patrialis meminta Pemohon untuk memahami pengertian diskriminasi dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Terlebih, peraturan periodisasi tidak hanya diberikan kepada hakim Pengadilan Hubungan Industrial.
“Hakim Mahkamah Konstitusi sendiri masih punya masa periodisasi lima tahun. Bahkan beberapa hakim konstitusi yang pernah jadi Ketua Mahkamah Konstitusi pun kalau mereka ingin kembali untuk menjadi hakim konstitusi tetap dilakukan rekrutmen baru oleh lembaga yang tadinya yang melakukan rekrutmen,” ungkap Patrialis.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Suhartoyo memberikan saran terkait sistematika penyusunan permohonan. Saran tersebut diberikan karena Pemohon maupun kuasanya belum pernah beracara di MK.
“Permohonan Bapak ini cukup 10-15 lembar sudah cukup ini. Paling banyak 12 halaman, 12 lembar cukup ini. Dipadatkan. Ada redudansi, pengulangan-pengulangan di argumentasi alasan-alasan itu di poin 3 dibuang saja,” saran Suhartoyo.
Usai menyampaikan berbagai saran, Manahan mengingatkan Pemohon untuk menyerahkan perbaikan permohonan paling lambat 26 Juli 2016, pukul 10.00 WIB. “Kalau lebih cepat dari tanggal itu juga lebih bagus. Jadi untuk selanjutnya yang menjadi tugas Pemohon untuk perbaikan dari permohonan, apabila sarang-saran yang telah diberikan oleh Majelis tadi Pemohon dapat menggunakannya,” tutup Manahan. (Yusti Nurul Agustin/lul)