Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) terhadap UUD 1945, Kamis (19 /7). Sidang perkara No. 14/PUU-V/2007 ini mengagendakan mendengarkan keterangan Pemerintah, DPR, dan Saksi/Ahli Pemohon.
Perkara ini dimohonkan oleh H. Muhlis Matu dengan Kuasa Hukum Januardi S. Haribowo, S.H. dkk. Dalam permohonannya, Pemohon mengungkapkan bahwa berlakunya UU Pemda, khususnya Pasal 58 huruf f, telah merugikan hak konstitusionalnya. Pasal 58 huruf f dalam UU Pemda tersebut melarang seseorang untuk menjadi Calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah apabila yang bersangkutan pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana yang ancaman hukumannya paling lama 5 tahun atau lebih.
Pemohon yang bermaksud mencalonkan diri sebagai Bakal Calon Wakil Bupati dalam pemilihan kepala daerah Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, dengan berlakunya ketentuan tersebut, terancam tidak dapat melanjutkan proses pencalonannya, karena di masa lalunya, Pemohon pernah menjalani hukuman penjara karena telah melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman lebih dari lima tahun. Faktanya, tindak pidana yang telah dilakukan oleh Pemohon adalah berupa tindakan percobaan pembunuhan yang dilatarbelakangi oleh permasalahan siri dalam budaya masyarakat Bugis-Makassar yang menyangkut harga diri, nama baik, dan martabat keluarga besar Pemohon.
Dengan adanya pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dalam UUD 1945, maka Pemohon berpendapat bahwa dengan telah selesai dijalaninya hukuman tersebut, Pemohon adalah orang bebas yang mempunyai hak dan kesempatan yang sama dengan warga negara Indonesia lainnya, baik di dalam hukum maupun pemerintahan.
Dalam Petitumnya, Pemohon meminta Majelis Hakim Konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon dan menyatakan bahwa Pasal 58 huruf f UU Pemda bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Terhadap permohonan di atas, Pemerintah yang di persidangan ini diwakili oleh Dirjen PP Dephukham, Abdul Wahid Masru, dalam keterangan tertulis yang dibacakannya, menyatakan bahwa ketentuan seperti Pasal 58 huruf f UU Pemda juga terdapat di dalam undang-undang lainnya. Selain itu, pengujian terhadap ketentuan serupa pernah dilakukan oleh MK dengan putusan, tidak dapat diterima. Maka sesuai asas nebis in idem, pemerintah meminta MK menyatakan permohonan ditolak atau setidak-tidaknya, tidak dapat diterima, ucap Abdul.
Sementara itu, Ahli dari Pemohon, Dr. Chairul Huda, S.H., M.H. menjelaskan bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat. Pemidanaan bukan untuk kepentingan masyarakat sebagai alat balas dendam, melainkan dalam teori resosialisasi, untuk kepentingan si terpidana itu sendiri supaya jadi warga negara yang baik.
Sanksi pidana, lanjut Chairul, selalu ada batas waktunya, sehingga bagi orang yang telah menjalani hukuman pidananya, maka pulihlah hak-haknya, salah satu contoh, hak untuk memilih dan dipilih. Ada kelemahan dalam Pasal 58 huruf f, di mana aturan tersebut tidak menjangkau semua orang yang pernah terkena ancaman pidana seperti orang yang terancam pidana mati ataupun yang terkena ancaman di bawah lima tahun, urai pengajar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta ini.
Bila ketentuan Pasal 58 huruf f dimaksud untuk mengukur tingkat ketercelaan, papar Chairul, maka seharusnya bukan ancaman yang dijadikan ukuran, melainkan pidana yang dijatuhkan. Lebih baik, aturannya diganti menjadi semua yang pernah diancam dan dijatuhi pidana, tidak boleh mencalonkan diri, ujar Chairul.
Berseberangan dengan keterangan Ahli dari Pemohon, DPR dalam keterangan tertulisnya yang dibacakan Kuasa Hukum DPR RI, Akil Mochtar, mengatakan bahwa Pasal 58 huruf f merupakan pembatasan hak konstitusional warga negara yang terkait dengan pertimbangan moral. Persyaratan tersebut wajar karena untuk menduduki suatu jabatan, seseorang itu haruslah bisa menjadi figur atau contoh yang baik bagi masyarakat. Ketentuan ini ada supaya pemerintah daerah dipimpin orang-orang yang baik dan untuk menciptakan good and clean government, jelas Akil.
Dalam sesi tanya-jawab, Hakim Konstitusi Dr. H. Harjono, S.H., MCL. bertanya kepada Ahli dari Pemohon, bukankah wajar bagi sebuah lembaga, untuk menjaga citra, maka dibuatlah syarat-syarat? Jawab Chairul, adanya syarat itu wajar saja asalkan tidak membuat syarat yang dapat diperdebatkan seperti Pasal 58 huruf f ini. Contoh Chairul, Bung Karno pernah berkali-kali dipenjara, tapi bukan berarti dia tidak layak memimpin negeri ini. Begitu juga Wakil Ketua MPR, A. M. Fatwa pernah dijatuhi pidana, tapi kita tidak mempertanyakan kredibilitasnya, lanjut Chairul.
Hakim Konstitusi Prof. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S., dalam pertanyaannya kepada Pemerintah dan DPR, mempertanyakan sejak kapan ada rumusan ketentuan seperti Pasal 58 huruf f? Jawab Abdul Wahid, dirinya mengaku tidak tahu persis sejak kapan ketentuan seperti ini muncul. Tapi saya yakin sejak awal kemerdekaan sanksi seperti ini telah ada, jawab Abdul. (Wiwik Budi Wasito)