Pimpinan PPP Muktamar Bandung menjadi Pihak Terkait dalam uji materi Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Parpol). Sidang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (23/6) di Ruang Sidang Pleno MK. Agenda sidang perkara No. 35/PUU-XIV/2016 tersebut adalah mendengarkan keterangan Pihak Terkait dan ahli/saksi Pihak Terkait.
Diwakili Muhammad Sholeh Amin, DPP PPP Muktamar Bandung yang dipimpin Ketua Umum Romahurmuziy dan Sekretaris Arsul Sani menyangkal permohonan pemohon karena menilai tidak ada persoalan konstitusionalitas dengan kedua norma yang diajukan untuk diuji. Menurutnya, persoalan sebenarnya adalah persoalan yang sifatnya konkret individual, yaitu para Pemohon sedang mempermasalahkan eksekusi atas Putusan Mahkamah Agung.
“Ketika para Pemohon menyadari bahwa Putusan Mahkamah Agung Nomor 601 tidak bersifat noneksekutif, maka persoalan yang bersifat konkret dan individual ini diangkat seolah-olah menjadi persoalan konstitusi,” ujarnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Menurut Pihak Terkait, telah terjadi islah perdamaian secara Islami yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa yaitu Romahurmuziy, Suryadharma Ali, dan Maimun Zubair sebagai Ketua Majelis Syariah, termasuk Majelis Takmil; pihak yang memenangkan Perkara Nomor 601. Selain itu, berdasarkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor 504 K/TUN/2015 tanggal 20 Oktober 2015, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia telah mencabut SK pengesahan kepengurusan hasil Muktamar Surabaya. “Maka dengan dicabutnya pengesahan kepengurusan hasil Muktamar Surabaya secara otomatis, maka kembali kepada hasil Muktamar Bandung,” ujarnya.
Pernyataan Pihak Terkait tersebut didukung oleh W.Riawan Tjandra selaku Ahli yang dihadirkan Pihak Terkait. Riawan menjelaskan tidak perlu ada keraguan mengenai konstitusionalitas norma hukum yang terhadap pada Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol).
Sebelumnya, Ibnu Utomo bersama dua orang lainnya sebagai kader dan anggota Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menguji materi ketentuan Pasal 33 ayat (2) UU Parpol. Pasal tersebut dinilai Pemohon, menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak memberikan kejelasan tindak lanjut pelaksanaan putusan kasasi melalui pengesahan susunan kepengurusan yang dinyatakan sah oleh putusan kasasi.
Menurut Pemohon, tidak adanya ketentuan dalam UU Parpol mengenai tindak lanjut penerbitan Surat Keputusan bagi susunan kepengurusan parpol yang telah dinyatakan sah dalam putusan kasasi membuat ketentuan tersebut multitafsir.
Pemohon beranggapan, Menteri Hukum dan HAM bisa mengabaikan putusan kasasi dan berhak untuk tidak menerbitkan keputusan pengesahan kepada susunan kepengurusan partai politik yang telah dibenarkan keabsahannya oleh putusan kasasi. Bahkan Menteri Hukum dan HAM dapat saja menafsirkan ia menerbitkan keputusan pengesahan untuk susunan kepengurusan yang ditolak keabsahannya oleh Mahkamah Agung dalam putusan kasasi.
Akibat ketidakpastian penafsiran ketentuan tersebut, menurut Pemohon, partai politik tak lebih hanya akan menjadi alat yang dapat dikontrol oleh rezim pemerintah yang sedang berkuasa. Bahkan, para kader partai politik yang ditempatkan di DPR dapat dikontrol, sehingga tidak dapat menjalankan fungsi pengawasan sebagaimana diamanatkan UUD 1945.(Lulu Anjarsari/lul)