Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materi Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang Undang No 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang mewah (PPN), Rabu (22/6) di ruang sidang pleno MK. Agenda sidang perkara Nomor 39/PUU-XIV/2016 tersebut adalah mendengarkan keterangan Presiden dan DPR.
Mewakili Pemerintah, Kepala Biro Bantuan Hukum Kementerian Keuangan Tio Serepina Siahaan menyatakan pasal yang diujikan Pemohon sifatnya tidak membeda-bedakan dan berlaku bagi seluruh wajib pajak yang masih memiliki hak dan kewajiban perpajakan, baik pribadi maupun badan hukum di dalam negeri dan luar negeri. “Ketentuan ini bersifat equality before the law. Semua sama di mata hukum dan tak ada diskriminasi sama sekali,” ujarnya dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.
Selain itu, kata dia, pemerintah melalui aturan ini bertujuan menjunjung tinggi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Dalil Pemohon yang menyatakan diberlakukannya Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-Undang PPN mengakibatkan timbulnya perlakuan yang diskriminatif, dinilai Pemerintah tidak beralasan menurut hukum. Sebab, ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
Sebelumnya, Doli Hutari sebagai ibu rumah tangga dan konsumen komoditas pangan, serta Sutejo, pedagang komoditas pangan di Pasar Bambu Kuning merasa dirugikan dengan diberlakukannya Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN. Para pemohon merasa mendapat perlakuan berbeda ketika akan mengakses komoditas pangan, antara lain berupa komoditi pangan non beras, kacang-kacangan lantaran komoditas tersebut dikenai PPN.
Pemohon menyatakan pengenaan PPN terhadap produk-produk tersebut berimbas pada maraknya komoditas impor hasil selundupan yang tidak membayar PPN dan bea masuk. Hal tersebut mengakibatkan disparitas harga sangat jauh, sehingga produk tersebut menjadi kalah bersaing dengan komiditas pangan ilegal.
Di sisi lain, Pemohon menilai penjelasan dalam pasal tersebut hanya menyertakan 11 jenis kategori pangan yang tidak dikenakan PPN, sedangkan komoditas lainnya dikenakan PPN. Ketentuan itu menyebabkan komoditas pangan di luar 11 jenis tersebut menjadi lebih mahal. Efek lainnya juga membuat kebutuhan pangan, gizi masyarakat, serta identitas kuliner bangsa terancam tidak dapat dipenuhi. (ars/lul)