Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materi UU Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP), Senin (20/6). Agenda sidang perkara teregistrasi Nomor 46/PUU-XIV/2016 tersebut adalah perbaikan permohonan.
Mewakili Pemohon, Fely Syah Menan menyatakan memperbaiki permohonan dengan menyentuh dua aspek. Pertama, memperbaiki permohonan supaya lebih fokus serta memperbaiki formulasi petitum. “Ini membuat jumlah halaman permohonan menjadi lebih ringkas. Dari sebelumnya 100 halaman lebih, menjadi hanya 81 halaman saja,” ujarnya dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.
Dalam permohonannya, sesuai dengan saran Majelis Hakim pada sidang sebelumnya, Pemohon memperjelas legal standing dan kerugian konstitusionalnya. “Kami juga menambahkan kaidah-kaidah hukum adat Indonesia untuk mendukung permohonan kami. Rujukannya jurisprudensi tetap Mahkamah Agung (MA) yang menggunakan penafsiran hukum adat dalam menghukum perkara tindak pidana zina,” jelasnya.
Pada akhir sidang, Ketua MK Arief Hidayat menyatakan pihaknya sudah menerima permohonan Pemohon secara lengkap dengan buktinya. Selanjutnya Majelis Panel akan melaporkan permohonan Pemohon dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) guna menentukan perkara langsung diputus atau harus disidangkan kembali.
Dalam sidang perdana, sejumlah masyarakat yang menjadi Pemohon perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016, memohonkan uji materi Pasal 284 ayat (1) sampai ayat (5), Pasal 285, dan Pasal 292 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP). Para Pemohon merasa dirugikan hak konstitutionalnya untuk mendapatkan kepastian hukum dan perlindungan sebagai pribadi, keluarga, dan masyarakat atas berlakunya pasal yang mengatur mengenai perzinaan, perkosaan, dan pencabulan tersebut.
“Apalagi kita sadari KUHP disusun para ahli hukum Belanda yang hidup ratusan tahun lampau. Tentulah keadaan masyarakat pada saat penyusunannya sudah sangat jauh berbeda dengan masa kini,” jelasnya.
Selain itu, Pemohon menegaskan KUHP disusun oleh mereka yang tak meyakini Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Oleh karena itu, menurutnya, dapat dipastikan tidak sepenuhnya ketentuan dalam KUHP sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang menjiwai setiap hukum positif di Indonesia. Pemohon menilai pasal-pasal terkait perzinahan tersebut tidak cukup jelas untuk melindungi hak konstitusional para Pemohon. (ars/lul)