Mantan Bupati Waropen Yesaya Buinay yang menjadi tersangka korupsi mengajukan diri menjadi Pihak Terkait dalam sidang pengujian Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Diwakili oleh Pieter Ell selaku kuasa hukum, Yesaya hadir dalam sidang perkara dengan Nomor 25/PUU-XIV/2016
Dalam keterangannya, Yesaya mengakui bahwa dirinya merupakan korban dari berlakunya Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Pihak Terkait menjelaskan dirinya telah dijatuhi hukuman pidana penjara selama lima tahun enam bulan dengan denda Rp 200 juta. Sebab, seminggu setelah pelantikan, Pihak Terkait menandatangani sebuah disposisi yang isinya memerintahkan untuk memblokir pencairan pada rekening kas daerah pada Bank BRI Kabupaten Waropen. Ternyata, lanjut Ell, secara diam-diam dan tanpa sepengetahuan Pihak Terkait, Kepala BKD Kabupaten Waropen telah mengeluarkan sebuah disposisi lagi yang memerintahkan pencairan dana sebesar Rp3 miliar. Dalam proses selanjutnya di Pengadilan Tipikor Jayapura, majelis hakim akhirnya membebaskan Pihak Terkait karena fakta persidangan telah membuktikan Pihak terkait tidak memiliki peran baik lisan maupun tertulis untuk memerintahkan pencairan tersebut.
“Justru terdakwa mengeluarkan disposisi untuk melakukan pemblokiran pada saat masa transisi pelantikan bupati yang baru ketika itu. Tetapi sangat fantastis dan aneh setelah putusan tersebut ternyata pihak jaksa melakukan upaya hukum kasasi. Dan pada tanggal 26 April 2016, Mahkamah Agung telah menjatuhkan putusan dengan menghukum Pihak Terkait dengan pidana penjara lima tahun enam bulan dan denda Rp200.000.000,00,” terangnya di hadapan sidang yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Selanjutnya, Ell mengungkapkan Pihak Terkait merasa sebagai korban akibat pelaksanaan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Pihak Terkait menilai dalam praktiknya pasal atau frasa tersebut bisa diterjemahkan dan bisa disalahgunakan atau bahkan diselewengkan oleh aparat penegak hukum di lapangan.
“Akhirnya, berdasarkan uraian di atas, maka sebagai Pihak Terkait, kami sependapat dengan permohonan yang diajukan oleh Pemohon terutama tentang frasa yang telah kami jelaskan di atas, yaitu frasa atau orang lain atau suatu korporasi dan kata dapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor. Karena itu, berdasarkan uraian di atas, kami berkesimpulan bahwa frasa tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” terang Ell.
Permohonan yang teregistrasi nomor 25/PUU-XIV/2016 tersebut diajukan oleh 6 orang pegawai negeri sipil (PNS) yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Para pemohon menilai frasa “atau orang lain atau suatu korporasi”dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor sangat merugikan mereka dalam menjalankan tugas dan kewenangannya pada jabatan pemerintahan pusat ataupun daerah. Sebab, dalam menjalankan tugasnya, para Pemohon tidak dapat menghindari tindakan mengeluarkan keputusan, khususnya dalam hal penentuan pelaksana proyek pemerintahan yang dipastikan menguntungkan orang lain atau suatu korporasi.
Selain itu, Pemohon menyebutkan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, membuat Pemohon selalu diliputi rasa khawatir dan rasa tidak aman dalam mengambil setiap kebijakan atau keputusan. Hal tersebut karena setiap keputusan yang diambil akan selalu berisiko untuk dinyatakan sebagai kejahatan korupsi, walaupun keputusan tersebut menguntungkan bagi rakyat. Menurutnya, kata “dapat” dalam ketentuan tersebut dapat menjadikan tindak kriminalisasi terhadap ASN/PNS karena unsur merugikan keuangan negara. (Lulu Anjarsari/lul)