Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan dua perkara Pengujian Undang-Undang Kejaksaan, Rabu (1/7) di Ruang Sidang Pleno MK. Kedua perkara dimaksud yakni Perkara No. 43/PUU-XIV/2016 yang dimohonkan Rahmad Sukendar dan Perkara No. 40/PUU-XIV/2016 yang diajukan oleh Sisno Adiwinoto. Mahkamah mengagendakan untuk mendengar keterangan ahli yang dihadirkan Pemohon, yaitu Muhammad Rullyandi selaku Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Pancasila.
Di hadapan Majelis Hakim, Rullyandi menyampaikan keahliannya terkait inkonstitusionalitas Pasal 35 huruf C UU Kejaksaan yang memberikan kewenangan bagi Jaksa Agung melakukan seponering (pengesampingan perkara demi kepentingan umum). Menurut Rullyandi, ketentuan a quo beserta penjelasannya menimbulkan ruang multitafsir yang mengundang perdebatan.
Penjelasan frasa “kepentingan umum” dalam Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan yang diartikan sebagai kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas, dianggap tidak detail oleh Rullyandi. “Penjelasan undang-undang a quo tidak merinci dengan jelas kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas. Yang menjadi pertanyaan mendasar, apa yang dimaksud dengan kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas?” ujar Rullyandi di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin langsung oleh Ketua MK, Arief Hidayat.
Untuk menghindari kerancuan, Rullyandi menawarkan penafsiran frasa “kepentingan umum”. Menurutnya, “kepentingan umum” yang dapat dijadikan Jaksa Agung untuk menerbitkan seponering adalah kepentingan umum yang mempertaruhkan kepentingan negara. Penafsiran itu diberikan karena Rullyandi beranggapan bahwa kepentingan bangsa dan negara harus berada di atas kepentingan pribadi maupun kepentingan golongan.
“Terlebih kepentingan bangsa dan negara harus diartikan suatu keadaan sistem ketatanegaraan atau pemerintahan yang berpotensi terjadi stagnan atau mandek tidak berjalan dan mencegah kekosongan hukum dalam sistem ketatanegaraan,” papar Rullyandi selaku ahli yang dihadirkan oleh Sisno Adiwinoto (Wakil Ketua Umum Ikatan Sarjana dan Profesi Perpolisian Indonesia/ISPPI).
“Check and Balances”
Selain perlu ditafsirkan secara substansial, penerbitan seponering juga harus dilakukan dengan memerhatikan hubungan kelembagaan antar lembaga negara. Hal tersebut perlu dilakukan untuk memastikan prinsip check and balances dijalankan dalam penggunaan kewenangan seponering.
Oleh karena itu, Rullyandi menegaskan bahwa pertimbangan lembaga terkait juga sangat penting dipertimbangkan sebelum seponering diterbitkan. Selain sejalan dengan prinsip check and balances, pertimbangan lembaga terkait juga berguna untuk menggambarkan urgensi kasus yang perlu diterbitkan seponering.
“Pertimbangan lembaga terkait juga menggambarkan suatu keadaan urgensi yang lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan negara ketimbang mengutamakan kepentingan individual dan golongan, yaitu dengan memperhatikan saran institusi Polri, Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden agar terciptanya pengawasan struktural dan mencegah tidak terjadi penyimpangan kewenangan,” tutup Rullyandi mengakhiri paparannya. (Yusti Nurul Agustin/lul)