Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan jangka waktu 5 tahun bagi PNS yang tidak lagi menjabat sebagai pejabat negara sebelum diberhentikan dengan hormat. Putusan perkara 8/PUU-XIII/2015 yang dibacakan bersamaan dengan perkara dengan Nomor 9/PUU-XIII/2015 tersebut diucapkan Ketua MK Arief Hidayat, Rabu (15/6) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Pasal 124 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara selengkapnya menjadi, ‘Dalam hal tidak tersedia lowongan jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling lama 5 (lima) tahun PNS yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat’,” ucap Arief didampingi hakim konstitusi lainnya.
Dalam pertimbangan Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Mahkamah menilai jangka waktu yang diberikan kepada PNS untuk menduduki jabatan lain setelah tidak menjabat lagi sebagai pejabat negara hanya dua tahun sebagaimana ditentukan Pasal 124 ayat (2) UU UU ASN, tidak proporsional.
Pasal 124 ayat (2) UU ASN menyebutkan “Dalam hal tidak tersedia lowongan jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun PNS yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat”.
Apalagi jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 117 ayat (1) UU ASN yang menyatakan jabatan pimpinan tinggi hanya dapat diduduki paling lama lima tahun. Menurut Mahkamah, lanjut Palguna, jangka waktu untuk menduduki jabatan setelah tidak menjabat lagi sebagai pejabat negara harus disesuaikan dengan masa menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi sebagaimana diatur dalam Pasal 117 ayat (1) UU ASN.
“Sehingga PNS yang tidak menjabat lagi sebagai pejabat negara dapat lebih leluasa untuk mendapat kesempatan menduduki jabatan pimpinan tinggi. Jika dalam jangka waktu 5 tahun yang bersangkutan tetap tidak menduduki jabatan, baik jabatan pimpinan tinggi, jabatan administrasi umum, atau jabatan fungsional, baru lah yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat,” terang Palguna.
Hak Politik PNS Terbatas
Pemohon juga mendalilkan Pasal 87 ayat (4) huruf c UU ASN yang mengatur PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik, telah merugikan hak konstitusional para Pemohon karena para Pemohon kehilangan hak untuk bekerja dan mengembangkan diri.
Terhadap dalil tersebut, Wakil Ketua MK Anwar Usman menegaskan, Konstitusi telah memberikan batasan seberapa jauh seorang PNS dapat berpolitik. Mahkamah dalam putusannya Nomor 41/PUU-XII/2014, bertanggal 8 Juli 2015 menegaskan bahwa “...kedudukan dan peranan PNS penting serta menentukan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Peranan itu menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintahan yang bergantung pada kompetensi PNS yang secara karier diangkat berdasarkan kecakapan tertentu dan secara terus menerus memperoleh pembinaan, pendidikan, jenjang kepangkatan secara teratur dan terukur, termasuk pendidikan kedinasan untuk mencapai jenjang kepangkatan dan karier tertentu...”. Oleh karena pentingnya peranan PNS dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan itu, maka integritas dan netralitas seorang PNS harus terjaga.
“Tugas PNS sebagai aparatur negara yang memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan dan pembangunan, membuat PNS harus bersih dari pengaruh golongan tertentu termasuk partai politik tertentu sehingga dapat memberikan pelayanan kepada seluruh golongan masyarakat secara adil tanpa membeda-bedakan,” papar Anwar.
Selain itu, Anwar menjelaskan seorang yang berkarir sebagai PNS seharusnya telah mengetahui bahwa dirinya telah memilih untuk menjadi pengabdi dan pelayan masyarakat. Oleh karena itu, yang bersangkutan dituntut untuk konsisten dengan pilihan profesinya, dalam hal ini sebagai PNS yang harus menjaga netralitas dari pengaruh partai politik. Sehingga hak untuk menjadi anggota partai politik harus dikesampingkan.
Hak berpolitik seorang PNS bukan berarti dihapus dan hilang. Seorang PNS sebagai warga negara tetap memiliki hak pilih dalam pemilihan umum Anggota Legislatif, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, maupun pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Dengan hak pilih demikian pun PNS harus tetap menjaga netralitas dan independensinya, bersikap adil dalam melayani masyarakat dari semua golongan, sehingga tidak terjebak dalam politik praktis, apalagi sampai memanfaatkan akses fasilitas publik dalam memenangkan salah satu partai/calon. Dalam konteks itulah pembatasan terhadap hak konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 harus diletakkan;
“Berdasarkan pertimbangan pentingnya netralitas dan independensi PNS untuk bersih dari pengaruh partai politik tertentu sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa dalil permohonan para Pemohon terkait Pasal 87 ayat (4) huruf c UU 5/2014 tidak beralasan menurut hukum,” paparnya.
Perkara 8/PUU-XIII/2015 yang diajukan oleh Fathul Hadie Utsman, Abdul Halim Soebahar, Sugiarto, dan Fatahillah mempermasalahkan Pasal 51 ayat (1) huruf k, ayat (2) huruf h, Penjelasan Pasal 51 ayat (1) huruf k, Penjelasan Pasal 68 ayat (2) huruf h, Penjelasan Pasal 51 ayat (2) huruf i UU ASN. Dalam permohonannya, para pemohon perkara 8/PUU-XII/2015 memaparkan bahwa kewajiban pengunduran diri PNS yang maju dalam bursa pencalonan kepala daerah atau pun anggota legislatif harus ditafsirkan sebagai pengunduran diri sementara. Frasa mengundurkan diri dalam ketentuan tersebut dianggap tidak menjamin kepastian hukum karena normanya bertentangan dengan norma dalam satu undang-undang.
Dalam undang-undang tersebut juga dinyatakan bahwa PNS yang menjadi hakim konstitusi, komisioner Komisi Yudisial, anggota Badan Pemeriksa Keuangan, dan lembaga-lembaga lainnya hanya diwajibkan mengajukan pengunduran diri sementara, dan apabila masa jabatannya telah berakhir dapat kembali menjadi PNS. Adanya ketentuan yang berbeda tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, pemohon meminta kepada MK agar PNS yang mencalonkan diri menjadi pejabat negara hanya diwajibkan mundur sementara.
Outsourcing bukan P3K
Lain halnya dengan perkara 9/PUU-XIII/2015 yang diajukan oleh oleh Fathul Hadie Utsman, Sanusi Afandi, Saji, Ahmad Aziz Fanani, Muiz Maghfur, Erike Yani Sonhaji, Abdul Rahman, Dedi Rahmadi, dan Ratih Rose Mery menguji Pasal 1 butir 4, Pasal 96 ayat (1) Pasal 98 ayat (1), ayat (2), Pasal 99 ayat (1), ayat (2), Pasal 105 ayat (1) huruf a dan Pasal 135. MK menolak untuk seluruhnya permohonan tersebut. “Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Arief.
Dalam pertimbangan yang dibacakan Hakim Konstitusi Aswanto, MK menegaskan P3K bukanlah tenaga outsourcing. Oleh karena itu, tidak tepat jika Pemohon menyamakan P3K dengan tenaga outsourcing sebagaimana Putusan Mahkamah Nomor 27/PUU-IX/2011 bertanggal 17 Januari 2012 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Meskipun P3K dibatasi oleh jangka waktu tertentu, namun P3K memiliki hak yang hampir sama dengan PNS, yakni mendapat jaminan hari tua, jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, dan bantuan hukum yang dilaksanakan sesuai dengan sistem jaminan sosial nasional. Jabatan yang dapat diisi oleh P3K adalah jabatan yang membutuhkan kompetensi keahlian dan keterampilan tertentu atau jabatan yang kompetensinya tidak tersedia atau terbatas di kalangan PNS dan diperlukan untuk peningkatan kapasitas organisasi, sehingga kebutuhan P3K pun disesuaikan dengan kebutuhan organisasi. Jika pelaksanaan pekerjaan P3K dinilai cukup maka perjanjian kerja antara Pejabat Pembina Kepegawaian dan P3K tidak perlu diperpanjang. “Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, dalil Pemohon terhadap Pasal 98 ayat (2) dan Pasal 105 ayat (1) huruf a UU ASN tidak beralasan menurut hukum,” ujarnya.
Dalam permohonannya para Pemohon menjelaskan bahwa dengan berlakunya pasal yang diujikan, mereka merasa tidak memperoleh kepastian hukum yang adil akan haknya untuk dapat bekerja sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang tidak memakai sistem kontrak dan hak untuk dapat ditetapkan sebagai PNS secara otomatis.
Pada saat ini pada instansi pemerintah sudah terdapat pegawai tidak tetap pemerintah/pegawai Non-PNS yang sudah bekerja dengan status pegawai Non-PNS. Pegawai tersebut harus secara otomatis dapat ditetapkan sebagai pegawai ASN dengan status sebagai PPPK. Jika tidak ditetapkan secara otomatis sebagai PPPK maka akan terjadi Pemutusan Hubungan Kerja massal. Pegawai tersebut juga akan kehilangan haknya untuk mendapatkan pekerjaan sebagai pegawai ASN/PPPK. Padahal, pegawai pemerintah yang berstatus sebagai PNS secara otomatis ditetapkan sebagai pegawai ASN.
Pemohon berpendapat, hal tersebut merupakan perlakuan yang diskriminatif. Norma-norma tersebut menyatakan bahwa masa kerja PPPK itu hanya untuk jangka waktu tertentu, masa perjanjian kerja paling singkat 1 tahun dan pegawai PPPK dapat diberhentikan dari pekerjaannya sebagai PPPK, jika jangka waktu perjanjian kerja berakhir. Hal tersebut menurut para Pemohon tidak dapat menjamin adanya kepastian hukum yang adil sebab sewaktu-waktu para Pemohon dapat kehilangan pekerjaan. Selain itu, ketentuan tersebut juga dianggap diskriminatif sebab pegawai ASN yang sudah berstatus sebagai PNS tidak dibatasi oleh jangka waktu dan tidak diberhentikan sewaktu-waktu karena tidak terikat oleh jangka waktu tertentu, sedangkan yang berstatus sebagai PPPK dapat diberhentikan sewaktu-waktu, apabila jangka waktunya berakhir. (Lulu Anjarsari/lul)