Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi Undang-Undang 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Walikota, dan Bupati (UU Pilkada), Rabu (15/6) di ruang sidang pleno MK.
“Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.,” ujar Ketua MK Arief Hidayat didampingi hakim konstitusi lainnya saat mengucapkan putusan Nomor 18/PUU-XIV/2016.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah merujuk pada Putusan Mahkamah sebelumnya, yaitu putusan Nomor 114/PUU-VII/2009, putusan Nomor 105/PUU-XIII/2015, dan putusan Nomor 51/PUU-XIII/2015. Putusan Nomor 114/2009 dan 105/2015 pada pokoknya menyatakan tenggat waktu pengajuan permohonan perselisihan hasil pemilihan umum (PHP) selama 3x24 jam yang telah ditetapkan Mahkamah sejak 2004 tidak menghalagi pemohon untuk mengajukan permohonan PHP.
Selain itu, uji materi ketentuan Pasal 157 ayat (5) UU Pilkada yang dimohonkan Pemohon, merujuk pada dua putusan sebelumnya, bukan menyangkut konstitusionalitas norma karena pembatasan pengajuan permohonan tidak bertentangan dengan prinsip negara hukum, prinsip kedaulatan rakyat, prinsip persamaan, prinsip keadilan, dan prinsip non-diskriminasi.
Terkait uji materi Pasal 158 ayat (2), merujuk pada Putusan 51/2015, Mahkamah menyatakan pembatasan bagi peserta pemilu untuk mengajukan perkara PHP dalam pasal 158 UU Pilkada merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang untuk menentukannya. Pembatasan demikian logis dan dapat diterima secara hukum sebab untuk mengukur signifikansi perolehan suara calon.
“Menimbang bahwa pertimbangan-pertimbangan Mahkamah dalam putusan tersebut diatas, mutatis mutandis menjadi pertimbangan pula dalam putusan a quo. Dengan demikian, menurut Mahkamah, permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum,” ujar Hakim Konstitusi Manahan Sitompul.
Sebelumnya, Calon Bupati Kabupaten Buru Selatan Rivai Fatsey merasa dirugikan dengan pemberlakuan Pasal 158 ayat (2) UU Pilkada. Menurutnya, aturan selisih suara maksimal 0,5%-2% antara calon pemohon untuk mengajukan permohonan perselisihan hasil pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut tidak adil. Pemohon menilai pesaingnya pada Pilkada Buru Selatan, yakni calon bupati nomor urut 2 adalah petahana, sehingga melakukan banyak kecurangan untuk memperoleh suara. Sehingga, paslon tersebut meraih suara terbanyak dalam pilkada.
Menurut Pemohon, kemenangan pasangan calon nomor urut 2 diperoleh dengan cara mendayagunakan aparat pemerintah dan melakukan money politik secara terstruktur, sistematis, dan masif sehingga menimbulkan ketidakadilan bagi Pemohon.
Pemohon juga menguji Pasal 157 ayat (5) UU Pilkada yang dinilainya tidak relevan. Ketentuan tersebut hanya memberikan waktu 3x24 jam untuk mengajukan keberatan hasil penghitungan perolehan suara. Padahal, menurut Pemohon, merujuk pada kondisi geografis Indonesia yang berupa kepulauan, hal tersebut jelas tak memungkinkan. “Ditambah akses transportasi sifatnya belum merata,” ujarnya. (ars/lul)