Persoalan ojek motor sudah diatur dalam peraturan menteri, Rahmat Artha Wicaksana selaku Pemohon perkara pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) menyatakan mencabut permohonan perkara No. 41/PUU-XIV/2016. Rabu (15/6), Mahkamah mengabulkan penarikan kembali permohonan perkara tersebut.
Senin (30/5) lalu, Wicaksana menyampaikan pencabutan perkara dimaksud. Menurut Wicaksana, substansi gugatannya sudah terjawab lewat Peraturan Menteri Perhubungan No. 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek.
Sebelumnya Pemohon mengajukan gugatan terhadap Pasal 138 ayat (3) UU 22 Tahun 2009 yang pada pokoknya menyatakan bahwa angkutan umum orang dan/atau barang hanya dilakukan dengan kendaraan bermotor umum. Menurut Pemohon rumusan keseluruhan dari UU LLAJ tidak dengan tegas mendefinisikan frasa “angkutan umum orang dan/atau barang”. Sehingga, banyak pihak pelaku bidang transportasi angkutan umum melalukan interpretasi secara bebas atas frasa tersebut.
Ia mencontohkan ojek motor, termasuk ojek motor online yang tengah marak belakangan ini, sebenarnya bisa saja masuk dalam definisi angkutan umum seperti yang disyaratkan Pasal 47 ayat (2) huruf a UU LLAJ. Sebab, ojek motor memiliki sifat sebagai kendaraan yang dapat mengangkut orang dan barang dengan memungut biaya atau tarif.
Kegundahan Pemohon tersebut kemudian terjawab lewat terbitnya Permenhub tersebut. Oleh karena itu, Pemohon menarik kembali permohon uji materi di MK. “Di dalam perkembangannya, Yang Mulia, dalam permohonan ini kami mendapati bahwa pemerintah melalui c.q Kementerian Perhubungan sudah mengeluarkan peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016 yang mana di situ telah mengatur tentang angkutan orang dan barang yang menggunakan aplikasi online. Jadi, setelah kami melihat pemerintah telah mengeluarkan peraturan terkait dengan aplikasi online kami merasa urgensi permohonan ini sudah tida kami akan lanjutkan,” jelas Wicaksana.
Terhadap permohonan pencabutan perkara tersebut, Mahkamah melaksanakan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) pada tanggal 8 Juni 2016 untuk mengambil keputusan. Lewat RPH, Makamah mengambil keputusan untuk mengabulkan penarikan kembali permohonan a quo karena beralasan menurut hukum.
Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK memang membenarkan diajukannya penarikan kembali suatu permohonan perkara yang belum maupun sudah diperiksa. Meski demikian,penarikan kembali suatu perkara menimbulkan konsekuensi bahwa permohonan serupa tidak dapat diajukan kembali.
“Menetapkan. Menyatakan. Mengabulkan permohonan penarikan kembali permohonan para Pemohon,” tegas Ketua MK, Arief Hidayat mengucapkan ketetapan dengan didampingi tujuh orang hakim konstitusi lainnya. (Yusti Nurul Agustin/lul)