Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan uji materi Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN) yang diajukan Demmy Pattikawa, pensiunan pegawai Pertamina. Putusan Nomor 76/PUU-XIII/2015 tersebut diucapkan Ketua MK Arief Hidayat, Rabu (15/6) di ruang sidang pleno MK.
”Amar putusan mengadili, menyatakan menolak permohonan untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Arief Hidayat yang didampingi para hakim konstitusi lainnya.
Sebagaimana diketahui, Pemohon mengajukan pengujian konstitusionalitas Pasal 55 UU PTUN yang menurut Pemohon bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Pemohon mendalilkan Pasal 55 UU PTUN lahir pada era ketika hak warga negara yang lemah kurang mendapat perhatian sehingga bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.
Pasal 55 UU No. 5/1986 menyebutkan, “Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.”
Pemohon merupakan pihak yang di-PHK oleh PT. Pertamina (Persero) pada 1983. Namun, Surat Keputusan Pimpinan Unit PT. Pertamina (Persero) Cirebon No. kpts-042/D3000/83-B1 mengenai PHK Pemohon tidak ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dan tanpa alasan yang jelas.
Pemohon mengaku tidak dapat memperjuangkan haknya pada saat itu karena PHK terjadi di era ketika hak asasi manusia kurang diperhatikan. Tidak ada rakyat biasa yang leluasa bisa dan berani melawan keputusan dari PT. Pertamina (Persero) yang dimiliki sepenuhnya oleh Pemerintah.
Menurut Pemohon, ia telah menempuh langkah penyelesaian secara kekeluargaan dengan mengirimkan surat kepada PT Pertamina, namun tidak pernah mendapatkan jawaban yang layak. Saat ini, Pemohon ingin memperjuangkan haknya dengan melakukan gugatan kepada PTUN karena pada saat itu PT. Pertamina merupakan perusahaan pemerintah dan pemutusan hubungan kerja tersebut, menurut Pemohon, termasuk dalam sengketa kepegawaian.
Namun, keinginan Pemohon terhalang dengan adanya ketentuan Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pengaturan tentang tenggang waktu 90 hari pengajuan gugatan sejak diumumkannya keputusan badan dinilai telah menghalangi upaya Pemohon untuk dapat memperjuangkan haknya. Oleh karena itu, Pemohon meminta MK menghapus norma tersebut.
Terhadap permohonan itu, MK mengutip pertimbangan dalam Putusan MK Nomor 57/PUU-XIII/2015, bertanggal 16 November 2015. Putusan tersebut mempertimbangkan sebagai berikut,“...pembatasan sampai kapan keputusan/penetapan tata usaha negara dapat digugat di pengadilan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 55 UU Peradilan TUN merupakan pilihan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang yang berlaku bagi semua warga negara Indonesia, sehingga tidak bersifat diskriminatif karena pasal a quo tidak memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang sama...”.Dengan demikian, pertimbangan MK dalam putusan tersebut menjadi mutatis mutandis untuk perkara a quo.
Selain itu, menurut MK, ketentuan Pasal 55 UU PTUN lahir setelah terbitnya surat keputusan pemberhentian kerja dari PT. Pertamina kepada Pemohon. Secara faktual, Pemohon mengajukan gugatan kepada PT. Pertamina pada saat berlakunya ketentuan Pasal 55 UU PTUN. Dengan demikian, MK menyatakan Pemohon harus patuh dan tunduk kepada ketentuan tersebut. “Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tegas Hakim Konstitusi Suhartoyo membacakan pertimbangan hukum. (Nano Tresna Arfana/lul)