Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan jangka waktu pengajuan grasi dapat dilakukan lebih dari satu tahun sejak putusan memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht). Hal tersebut diputuskan MK dalam sidang pengucapan putusan uji materi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi (UU Grasi) yang dimohonkan terpidana hukuman mati kasus Asabri, Su’ud Rusli, Rabu (15/6) di Ruang Sidang Pleno MK.
Hampir satu tahun berlalu sejak Su’ud Rusli mengajukan gugatan terhadap Pasal 7 ayat (2) UU Grasi. Pasal tersebut mengatur bahwa pengajuan grasi oleh terpidana, paling lama diajukan dalam jangka waktu satu tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap. Ketentuan tersebut dinilai oleh Pemohon telah melanggar hak konstitusionalnya untuk memiliki kesempatan mengajukan pengurangan masa tahanan.
Untuk dipahami, putusan inkracht terhadap perkara yang menjerat Pemohon sudah diterbitkan pada tahun 2006 lalu oleh Mahkamah Agung (MA). Dengan kondisi Pemohon yang sudah dipidana kurang lebih selama 12 tahun, Pemohon merasa sudah tidak dapat mengajukan grasi. Terlebih Pasal 7 ayat (2) UU Grasi sudah memberikan batasan satu tahun.
Terhadap upaya hukum lainnya seperti Peninjauan Kembali (PK), Pemohon tidak akan melakukannya. Sebab, Pemohon mengakui kesalahannya dan berkeinginan untuk bertobat menyesali semua perbuatannya. Hal tersebut dibuktikan Pemohon dengan selalu berkelakuan baik dan senantiasa melakukan pembinaan kepada sesama warga binaan di Lapas Kelas 1 Suarabaya. Oleh karena itu, Pemohon merasa berhak mendapat kesempatan kedua dengan mengajukan grasi meski putusan inkracht sudah lewat dari satu tahun.
Setelah mempertimbangkan bukti-bukti dan mendengarkan keterangan para pihak dalam persidangan, Mahkamah akhirnya memutus dalil Pemohon berasalan menurut hukum. Mahkamah menilai bahwa secara akal sehat dan atas dasar pertimbangan perikemanusiaan, Pemohon harus diberi kesempatan secara hukum untuk mengajukan grasi.
Kesimpulan tersebut diambil setelah Mahkamah melihat bahwa pemberian grasi sangat penting, tidak hanya untuk terpidana, tetapi juga untuk kepentingan negara misalnya. Sebab, bisa saja terpidana dimaksud sangat dibutuhkan keahliannya maupun perannya dalam mengangkat nama baik bangsa di luar negeri atas prestasi tertentu.
Mahkamah juga memandang bahwa pemberian grasi dapat menjadi kebijakan presiden, misalnya untuk mengurangi kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan. Grasi pun dinilai dapat dipergunakan sebagai jalan keluar terhadap seorang narapidana yang sangat memilukan keadaannya yang mengalami sakit keras, sakit tua, penyakit menular yang tidak mungkin dapat bertahan hidup dalam lembaga pemasyarakatan. Oleh karena itu secara akal yang sehat dan atas dasar pertimbangan perikemanusiaan kesempatan secara hukum melalui pemberian grasi harus diberikan.
“Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, pembatasan jangka waktu pengajuan permohonan grasi sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU 5 Tahun 2010 ternyata potensial menghilangkan hak konstitusional terpidana, khususnya terpidana mati, untuk mengajukan permohonan grasi. Pembatasan demikian juga menghilangkan hak Pemohon jika hendak mengajukan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali (PK) yang persyaratannya salah satunya ada novum, sedangkan ditemukannya novum itu sendiri tidak dapat dipastikan jangka waktunya,” ujar Hakim Konstitusi Suhartoyo membacakan penggalan pendapat Mahkamah dalam Putusan No. 107/PUU-XIII/2015.
Tidak Halangi Eksekusi
Meski demikian, Mahkamah memahami benar kemungkinan penyalahgunaan pengajuan upaya grasi. Misalnya saja, upaya grasi oleh terpidana atau keluarganya (terutama terpidana mati, red) digunakan untuk menunda eksekusi atau pelaksanaan putusan.
Terhadap hal tersebut, Mahkamah menyatakan jaksa sebagai eksekutor tidak harus terikat pada tidak adanya jangka waktu pengajuan grasi apabila nyata-nyata terpidana atau keluarganya tidak menggunakan hak atau kesempatan untuk mengajukan permohonan grasi. Jaksa juga tidak perlu terikat dengan aturan jangka waktu pengajuan grasi ketika sudah menanyakan kepada terpidana atau keluarganya tentang rencana pengajuan grasi.
“Menurut Mahkamah, tindakan demikian secara doktriner tetap dibenarkan meskipun ketentuan demikian tidak diatur secara eksplisit dalam undang-undang a quo, sehingga demi kepastian hukum tidak ada larangan bagi jaksa selaku eksekutor untuk menanyakan kepada terpidana atau keluarganya perihal akan digunakan atau tidaknya hak untuk mengajukan grasi tersebut,” jelas Suhartoyo. (Yusti Nurul Agustin/lul)