Empat orang ahli dihadirkan Pemerintah dan pihak terkait dalam sidang pengujian Undang-Undang No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (UU Perkebunan). Sidang dengan nomor perkara 138/PUU-XIII/2015 tersebut digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (9/6).
Di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat, Dosen Hukum Pertanian Universitas Jember Ermanto Fahamsyah menerangkan soal kepastian hukum usaha perkebunan. Menurutnya, materi muatan Pasal 55 dan Pasal 107 UU Perkebunan mempunyai rasiologis untuk memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan hukum yang bersifat preventif, kepastian hukum, dan keadilan kepada para pemangku kepentingan dalam pengelolaan dan pengembangan sumber daya perkebunan secara optimal, bertanggung jawab, dan lestari, atau berkelanjutan.
“Bicara tentang para pemangku kepentingan, tentu meliputi pemerintah, pelaku usaha perkebunan, masyarakat, dan masyarakat hukum adat. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 8, angka 9, dan angka 10 Undang-Undang Perkebunan, pelaku usaha perkebunan yang dimaksud terdiri dari pekebun, atau orang perseorangan dan atau perusahaan perkebunan yaitu badan usaha yang berbadan hukum,” imbuh Ermanto yang merupakan ahli yang dihadirkan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) selaku Pihak Terkait.
Oleh karena itu, menurut Ermanto, pelaku usaha perkebunan yang diberikan pengakuan, jaminan, perlindungan hukum, kepastian hukum, dan keadilan bukan hanya perusahaan perkebunan yang identik dengan konglomerasi, namun termasuk pekebun atau petani. Di samping faktor stabilitas politik dan faktor keuntungan secara ekonomi, perlindungan dan jaminan kepastian hukum juga merupakan faktor yang sangat penting dalam kegiatan pembangunan ekonomi termasuk perkebunan.
“Kepastian hukum dalam kegiatan perkebunan merupakan salah satu faktor penting yang diharapkan memberikan kekuatan besar dalam mempercepat kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan masyarakat perkebunan pada khususnya, dan masyarakat Indonesia pada umumnya,” tandasnya.
Sedangkan, ahli Pihak Terkait lainnya, Tommy Hendra Purwaka sebagai dosen Magister Ilmu Hukum Universitas Atma Jaya menjelaskan mengenai Pasal 12 ayat (2) UU Perkebunan mengakui keberadaan masyarakat hukum adat sebagai pihak yang sederajat dengan perusahaan perkebunan dalam musyawarah untuk menghasilkan persetujuan tentang pelepasan hak ulayat atas tanah adat dengan imbalan yang disepakati.
Melengkapi keterangan dua ahli lainnya, Iskandar Andi Nuhung yang juga merupakan ahli Pihak Terkait menuturkan Indonesia pernah mengalami penjajahan dan petani-petani Indonesia ketika itu dieksploitasi untuk kepentingan penjajah, sehingga terjadi dualisme ekonomi di pedesaan ketika yang kuat mengeksploitasi yang lemah. Oleh karena itu, pemerintah pada 1957 melakukan nasionalisasi perkebunan besar. Pertimbangannya, sumber daya nasional yang dimiliki oleh bangsa Indonesia harus juga dinikmati oleh rakyat karena rakyatlah sebetulnya yang berdaulat di Indonesia.
“Oleh karena itu, diintegrasikan skema perkebunan antara perkebunan besar dan sedang, dan perkebunan rakyat. Kemudian muncul kemitraan dalam bentuk Perkebunan Inti Rakyat. Filosofi daripada kemitraan itu yang pertama adalah sebagai suatu bentuk mengakselerasi pembangunan perkebunan yang diharapkan untuk mengisi pundi-pundi nasional, menyejahterakan rakyat dan ekspor,” kata Iskandar yang menjadi Staf Ahli Bidang Inovasi dan Teknologi Kementerian Pertanian.
Hal lainnya, ungkap Iskandar, pemerintah berusaha dalam hal ini melalui aset yang ada untuk mencoba secara sistematis menghilangkan dualisme ekonomi di pedesaan melalui pengembangan kemitraan pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Selain itu, pemerintah melakukan redistribusi aset nasional dan inilah sebagai semangat Undang-Undang Dasar 1945 dengan memberikan lahan kepada petani beserta plasma pola PIR.
Sementara, Peneliti Badan Litbang Pertanian Rasidin Azwar menjelaskan terdapat 127 jenis tanaman perkebunan di Indonesia dengan areal lebih kurang 27.000.000 hektar yang ditanami berbagai jenis tanaman. “Tanaman yang berbeda umurnya disebut dengan tanaman tahunan, ada tanaman semusim, ada tanaman asli Indonesia, dan ada yang diproduksi dari luar negeri,” papar Rasidin, ahli yang dihadirkan Pemerintah.
Dalam pengelolaan perkebunan, ungkap Rasidin, ada perkebunan besar dan ada perkebunan rakyat. Perkebunan besar porsinya lebih kurang sekitar 20% dan perkebunan rakyat sekitar 71%. Menurutnya, hanya tanaman-tanaman unggulan nasional yang dikelola oleh perkebunan besar, sedangkan sisanya dikelola oleh perkebunan rakyat.
Lebih lanjut, Rasidin mengatakan keberhasilan usaha perkebunan ditentukan benih. Terkait hal tersebut, dia menjelaskan terdapat dua persoalan perbenihan. “Pertama adalah keterbatasan varitas unggul, belum semua bisa tertangani oleh pemula untuk menghasilkan varitas unggul. Kedua adalah keterbatasan benih bina karena benih tanaman perkebunan yang begitu volumenya besar membutuhkan waktu yang lama untuk menghasilkannya sehingga benih tanaman perkebunan itu rata-rata tidak ada yang ready stock,” urai Rasidin.
Sebagaimana diketahui, Pemohon adalah sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang peduli nasib petani kecil, di antaranya Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Perkumpulan Sawit Watch (PSW), Aliansi Petani Indonesia (API) dan Serikat Petani Indonesia (SPI). Pemohon menguji Pasal 12 ayat (2), Pasal 13, Pasal 27 ayat (3), Pasal 29, Pasal 30 ayat (1), Pasal 42, Pasal 55, Pasal 57 ayat (2), Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 107, dan Pasal 114 ayat (3) Undang-Undang Perkebunan. (Nano Tresna Arfana/lul)