Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materi UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol) yang dimohonkan oleh kader PPP Ahmad Wakil Kamal. Sidang perdana perkara yang teregistrasi dengan nomor 45/PUU-XIV/2016 tersebut digelar di Ruang Sidang Pleno MK, Rabu (8/6). Pada pokoknya, Pemohon menggugat kewenangan Menteri Hukum dan HAM dalam perselisihan kepengurusan parpol.
Seperti diketahui, PPP saat ini tengah dirundung perselisihan kepengurusan parpol. Terdapat dua kubu besar yang saling bertentangan di tubuh partai berlambang Kabah itu. Sebagai tindak lanjut atas perselisihan tersebut, Mahkamah Agung (MA) sudah mengeluarkan keputusan yang pada pokoknya menyatakan kepengurusan PPP di bawah kepemimpinan Djan Faridz (hasil mukhtamar PPP di Jakarta, red) merupakan kepengurusan yang sah.
Namun, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly tidak bisa menjalankan putusan MA dimaksud. Dilansir dari berbagai pemberitaan, Yasonna beralasan penyelesaian dualisme di PPP sebaiknya tidak diselesaikan melalui langkah hukum. Dilatarbelakangi hal tersebut, Pemohon yang juga menjabat sebagai ketua departemen advokasi HAM PPP,mengajukan gugatan terhada Pasal 23 ayat (3) dan Pasal 24 UU Parpol ke MK.
Pasal 23 ayat (3)UU Parpol pada pokoknya menyatakan susunan kepengurusan baru parpol ditetapkan dengan Keputusan Menteri paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya persyaratan. Sementara Pasal 24 UU Parpol memerintahkan bahwa bila terjadi perselisihan kepengurusan parpol hasil forum tertinggi pengambilan keputusan parpol, pengesahan perubahan kepengurusan belum dapat dilakukan oleh menteri sampai perselisihan terselesaikan.
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan bahwa campur tangan pemerintah, dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM, atas kehidupan parpol untuk mengesahkan dan/atau menetapkan perubahan kepengurusan parpol, merupakan wujud pengekangan. Selain itu, Pemohon melihat kedua ketentuan tersebut telah menegasikan kedaulatan tertinggi yang berada ditangan anggota parpol. Ketentuan tersebut juga dituding berpotensi melanggar kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.
Di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Iqbal Tawakkal Pasaribu selaku kuasa hukum Pemohon menyampaikan kewenangan menkumham tersebut telah merugikan Pemohon. “Pemohon telah dirugikan sebagai anggota kader atau parpol karena menjadi timbul ketidakpastian hukum yang adil. Sesungguhnya sengketa kepengurusan parpol, dalam hal ini PPP, telah selesai berdasarkan proses sengketa parpol sebagaimana diatur di dalam undang-undang parpol,” tegas Iqbal.
Oleh karena itu, Pemohon meminta agar kewenangan pemerintah untuk campur tangan terhadap persoalan parpol harus dibatasi secara ketat. Terutama, campur tangan dalam menentukan perubahan kepengurusan partai politik yang mengalami konflik internal kepengurusan.
“Biarkanlah mekanisme hukum, baik mahkamah partai atau pengadilan, yang menentukan dan menjadi jalan keluar dalam menyelesaikan sengketa atau konflik kepengurusan partai politik,” pinta Iqbal.
Sebelumnya, pengujian undang-undang yang sama dengan pasal yang berbeda juga dimohonkan oleh Ibnu Utomo yang juga merupakan kader PPP. Ibnu menguji ketentuan Pasal 33 ayat (2) UU Parpol dengan dalil yang hampir serupa. Ibnu mendalilkan ketentuan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak memberikan kejelasan tindak lanjut pelaksanaan putusan kasasi melalui pengesahan susunan kepengurusan yang dinyatakan sah oleh putusan kasasi. Menurut Pemohon, Menteri Hukum dan HAM bisa mengabaikan putusan kasasi dan berhak untuk tidak menerbitkan keputusan pengesahan kepada susunan kepengurusan partai politik yang telah dibenarkan keabsahannya oleh putusan kasasi.
“Bahkan Menteri Hukum dan HAM dapat saja menafsirkan ia menerbitkan keputusan pengesahan untuk susunan kepengurusan yang ditolak keabsahannya oleh Mahkamah Agung dalam putusan kasasi,” tuturnya.
Saran Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon, Palguna memberikan saran agar Pemohon mempertajam argumentasi uji konstitusionalitas norma. Sebab , Palguna melihat permohonan Pemohon lebih banyak memaparkan mengenai kasus konkret. Meski kasus konkret tersebut menjadi “pintu masuk” pengujian norma, Palguna meminta agar argumentasi mengenai adanya pertentangan norma dalam UU Parpol dengan UUD 1945 lebih ditonjolkan.
“Dalam permohonan seolah-olah meminta Mahkamah untuk menjadi sebagai semacam positive legislator dengan penafsiran yang seperti yang Saudara sampaikan dalam petitum. Tapi dengan pengertian bahwa nanti untuk hal-hal yang sifatnya lebih kepada pemecahan kasus-kasus konkrit itu walaupun dijadikan bagian dari alasan permohonan, Saudara harus kembali lagi kepada persoalan konstitusionalitas, jangan terpacu kepada penyelesaian kasus konkrit itu. Karena itu bukan di sini (MK) tempatnya,” terang Palguna.
Masih terkait hal sama, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menemukan bahwa dalam permohonan Pemohon tidak disebutkan batu uji yang digunakan untuk menguji konstitusionalitas Pasal 3 ayat (3) dan Pasal 24 UU Parpol. “Saya lihat di halaman 4, itu sudah disinggung norma yang mau diuji, namun tidak disebutkan batu ujinya atau Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menunjukkan ada masalah inkonstitusionalitas di situ. Jadi, harusnya langsung di situ ditunjuk pasal-pasal dari Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang Anda mau buat menjadi batu uji,” ungkap Manahan sembari menyarankan.
Untuk mempertajam permohonan dengan memasukan berbagai perbaikan seperti yang disarankan Majelis Hakim, Pemohon diberi waktu sampai 21 Juni 2016 untuk menyerahkan perbaikan permohonan. (Yusti Nurul Agustin/lul)