Sebanyak 210 orang mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Lampung (Unila) didampingi Dekan dan para dosen FH Unila hari Selasa (10/7) melakukan kunjungan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kunjungan para mahasiswa Unila tersebut diterima oleh Hakim Konstitusi Letjen (Purn) Achmad Roestandi, S.H. dan Kepala Biro Humas dan Protokol MK Agus Prawoto.
Kehadiran para mahasiswa semester VI tersebut, menurut Dekan FH Unila Adius Semenguk, SH., MS., merupakan bagian dari kegiatan praktik kerja lapangan (PKL) yang wajib diikuti oleh para mahasiswa. Adius juga mengatakan, kegiatan tersebut bertujuan untuk membentuk kemahiran dalam peningkatan kompetensi bidang hukum. Selain itu, tambahnya, kegiatan tersebut juga dimaksudkan agar para mahasiswa dapat melihat secara langsung bekerjanya hukum di tengah-tengah masyarakat.
Sedangkan dalam sambutannya, Hakim Roestandi memberikan penjelasan kepada para mahasiswa mengenai latar belakang kelahiran MK di Indonesia. Menurut Hakim yang juga pernah menjadi Ketua Fraksi TNI/Polri dan Ketua Komisi II DPR RI ini, perdebatan mengenai ide pengujian undang-undang terhadap UUD sebenarnya sudah muncul sejak awal masa kemerdekaan. Adalah Mohammad Yamin yang mengemukakan ide agar ada mekanisme untuk membanding undang-undang dengan UUD pada saat rapat Badan Penyidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tahun 1945. Saat itu Yamin mengusulkan agar kewenangan tersebut diberikan kepada Mahkamah Agung, papar Hakim Roestandi.
Akan tetapi, lanjut Hakim Roestandi, gagasan M. Yamin tersebut ditolak oleh anggota BPUPKI lain, Soepomo, yang beralasan bahwa Indonesia tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) sehingga tidak mengenal judicial review. Sejak saat itu, ide tersebut tidak lagi muncul dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Ide tersebut baru muncul kembali saat dilakukan perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945 selama periode 1999 hingga 2002 yang akhirnya dibentuk lembaga tersendiri untuk melaksanakan kewenangan pengujian undang-undang tersebut, yakni MK.
Sementara saat menjawab pertanyaan salah seorang mahasiswa mengenai ketiadaan upaya hukum lagi atas putusan MK yang final dan mengikat meskipun kemudian muncul bukti baru (novum), Hakim Roestandi menjelaskan bahwa putusan MK lebih mengutamakan asas kepastian hukum. Ia menjelaskan, apabila masih diperkenankan ada upaya hukum lain atas putusan MK, misalnya peninjauan kembali (PK), justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal tersebut melanggar hak konstitusional warga negara, jelasnya menambahkan.
Usai diterima Hakim Roestandi, para mahasiswa pun tidak melewatkan kesempatan untuk berfoto bersama di depan gedung baru MK. Untuk kenang-kenangan, Pak, kata salah seorang mahasiswa beralasan. [ardli]