Mantan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaaan menyatakan perlu adanya penegasan kembali akan kepastian hukum dari rumusan tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Tak hanya itu, saat ini juga perlu adanya revisi dari UU Tipikor. Hal tersebut disampaikan Maruarar sebagai ahli yang dihadirkan Pemohon perkara Nomor 25/PUU-XIV/2016 yang digelar Selasa (7/6) di Ruang Sidang Pleno MK.
Maruarar menjelaskan revisi UU Tipikor dapat dilakukan dengan memperhatikan perkembangan yang terjadi dalam bidang tata hukum, tata usaha negara, perkembangan penyelenggaraan kekuasaan negara dalam perspektif pembangunan ekonomi, serta menerapkan komparatif study interpretation dengan melihat perkembangan global.
“Dengan seluruh perkembangan yang diutarakan sebelumnya, hemat saya sudah waktunya untuk menyelarasakan prinsip Konstitusi dalam rumusan norma dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi,” urainya.
Menanggapi pernyataan Maruarar, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna mempertanyakan apakah revisi UU Tipikor benar-benar diperlukan karena dalil Pemohon tidak krusial dan Pemohon baru berpotensi dirugikan. Ia menjelaskan permohonan Pemohon merupakan delik formil karena belum ada kerugian permohonan. Secara faktual, lanjutnya, sebenarnya pasal tersebut baru bisa diberlakukan ketika ada kasus-kasus konkret yang memunculkan kerugian negara. Ia pun menjelaskan jaksa agung muda tindak pidana khusus pun sudah membuat sebuah petunjuk terhadap para jaksa supaya setiap melakukan penyidikan tindak pidana korupsi harus ada kerugian negara yang konkret.
“Jadi saya mohon pandangan Bapak apakah kemudian kita bisa menggeser dengan argumentasi yang sebenarnya tidak begitu krusial apa tetap membiarkan norma ini yang kemudian di dalam praktik memang jarang ada kejadian. Ini menyinggung konstitusionalitas para tersangka atau orang-orang yang berpotensi dijadikan tersangka,” tanyanya.
Terkait pertanyaan tersebut, Maruarar menjelaskan perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam dunia tindak pidana korupsi memang tidak begitu mendasar, tetapi secara kumulatif terdapat perubahan yang besar sehingga sebagai negara hokum, sangat penting mengedepankan perlindungan hak asasi. Untuk itu, lanjutnya, MK sebagai penafsir tunggal konstitusi serta melindungi hak asasi warga negara diharapkan dapat melakukan kewenangan tersebut.
Permohonan yang teregistrasi nomor 25/PUU-XIV/2016 tersebut diajukan oleh 6 orang pegawai negeri sipil (PNS) yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Para pemohon diwakili oleh kuasa hukumnya Heru Widodo, menyampaikan dalil permohonannya. Menurut Pemohon, frasa “atau orang lain atau suatu korporasi”dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor sangat merugikan para Pemohon dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dalam jabatan pemerintahan pusat ataupun daerah. Sebab, dalam menjalankan tugasnya, para Pemohon tidak dapat menghindari tindakan mengeluarkan keputusan, khususnya dalam hal penentuan pelaksana proyek pemerintahan yang dipastikan menguntungkan orang lain atau suatu korporasi.
Selain itu, Pemohon menyebutkan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, membuat Pemohon selalu diliputi rasa khawatir dan rasa tidak aman dalam mengambil setiap kebijakan atau keputusan. Hal tersebut karena setiap keputusan yang diambil akan selalu berisiko untuk dinyatakan sebagai kejahatan korupsi, walaupun keputusan tersebut menguntungkan bagi rakyat. Menurutnya, kata “dapat” dalam ketentuan tersebut dapat menjadikan tindak kriminalisasi terhadap ASN/PNS karena unsur merugikan keuangan negara. (Lulu Anjarsari/lul)