Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana KUHP yang diajukan Mantan Calon Bupati Mamuju Utara Marigun Rasyid, Selasa (7/6) di Ruang Sidang Panel MK. Dalam sidang perdana perkara No. 46/PUU-XIV/2016, Abdul Rahman selaku kuasa hukum memaparkan pokok permohonan.
Dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo. Abdul menjelaskan permohonan tersebut dilatarbelakangi oleh laporan Pemohon mengenai adanya tindak pidana money politic yang dilakukan lawan politiknya dalam Pilkada Mamuju Utara. Sebagai tindak lanjut laporan itu, pihak Polres Mamuju Utara melakukan gelar perkara.
Dalam gelar perkara, Polres Mamuju Utara menghadirkan Pakar Pemilu yang merupakan Guru Besar Pidana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Anwar Borahima. Saat itu, Anwar menyampaikan bahwa suatu tindak pidana bisa disebut sebagai tindak pidana money politic hanya jika dilakukan pada hari H pemilihan dan dilakukan oleh pejabat. Akibat pendapat Anwar tersebut, Polres Mamuju Utara menolak meneruskan laporan Pemohon ke tingkat penyidikan. Oleh karena itu, Pemohon mengajukan gugatan ke MK. Sayangnya, Pemohon mengajukan gugatan terhadap pendapat ahli, bukan gugatan terhadap norma dalam KUHP.
Menanggapi permohonan Pemohon, ketiga Hakim Konstitusi yang mengawal jalannya persidangan menyampaikan saran serupa. Hakim Konstitusi Suhartoyo, Wahiduddin Adams, dan Aswanto menyatakan bahwa gugatan Pemohon bukan merupakan kewenangan MK.
“Kalau yang diuji pendapat ahli, lebih baik cabut saja permohonan ini. Coba dilihat kewenangan MK apa saja, salah satunya menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Tidak ada itu kewenangan (MK) untuk menguji pendapat ahli,” ujar Aswanto.
Hal tersebut diamini oleh Suhartoyo yang menyampaikan apabila Pemohon tetap memaksakan untuk menguji pendapat ahli ke MK, ia menyarankan agar Pemohon mencabut permohonannya saja. Sebab, gugatan Pemohon sama sekali bukan menjadi kewenangan MK.
“Silakan direnungkan kembali. Apa tetap mau diajukan atau tidak. Kalau dicabut tidak apa-apa, lebih baim begitu kalau masih mau menggugat pendapat ahli. Kalau mau diperbaiki menjadi menguji Pasal 149 ayat (1) KUHP, harus disampaikan argumentasinya, jangan asal bisa masuk ke MK,” saran Suhartoyo.
Sebelum menutup sidang, Suhartoyo yang memimpin persidangan menyampaikan bahwa Pemohon diberi waktu 14 hari kerja bila ingin memperbaiki permohonannya. (Yusti Nurul Agustin/lul)