Sebanyak 100 mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Kristen Indonesia (UKI) berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (7/6) siang. Rombongan tersebut diterima Peneliti MK Bisariyadi di Aula Gedung MK.
Salah satu perwakilan mahasiswa, Metodius Zaholo, mengungkapkan tujuannya berkunjung ke MK. “Kedatangan kami dalam rangka kunjungan ilmiah lapangan Unit Kegiatan Mahasiswa Forum Diskusi Mahasiswa Fakultas Hukum UKI. Kami ingin mengetahui tugas pokok dan fungsi MK Republik Indonesia sebagai pengawal konstitusi. Termasuk juga ingin mengetahui tata beracara di MK serta fungsi Kesekjenan dan Panitera MK. Selain itu kami ingin melihat langsung persidangan MK,” ucapnya.
Mengawali paparannya, Bisar menjelaskan kewenangan dan kewajiban MK sebagaimana diamanatkan UUD 1945. “Kewenangan utama MK adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,” kata Bisar.
Selain itu, ungkapnya, MK berwenang memutuskan sengketa hasil pemilu, sengketa kewenangan antara lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945, dan pembubaran partai politik. MK juga memiliki kewajiban untuk memutus pendapat DPR terkait pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden.
“Dari kewenangan dan kewajiban MK itu, yang belum pernah dijalankan MK adalah kewenangan memutus pembubaran partai politik dan kewajiban memutus pendapat DPR bila presiden dan/atau wakil presiden dianggap melanggar hukum,” urai Bisar kepada para mahasiswa.
Selain itu, sambungnya, perkara sengketa kewenangan antara lembaga negara juga terbilang sedikit disidangkan di MK. “Dalam setahun hanya 3 sampai 4 perkara dan putusannya tidak ada yang diterima MK,” tambah Bisar.
Di antara kewenangan MK tersebut, Bisariyadi menyoroti kewenangan MK memutus sengketa hasil pemilu terutama hasil pemilu kepala daerah atau pilkada. “Tahun 2008 pembuat undang-undang menyatakan pilkada masuk ke dalam rezim pemilu. Konsekuensinya, sengketa-sengketa pilkada penyelesaiannya dibawa ke Mahkamah Konstitusi,” ucap Bisar.
Dijelaskan Bisariyadi, mekanisme pilkada menjadi bahan yang sangat mengandung nilai politik karena banyak sekali persoalan yang muncul dalam pilkada. Atas dasar ditemukannya pelanggaran yang terstruktur, sistematis dan masif dalam pilkada, imbuhnya, MK dapat memerintahkan Komisi Pemilihan Umum melakukan pemilihan ulang ataupun penghitungan suara ulang.
“Bahkan Mahkamah Konstitusi pernah mendiskualifikasi salah satu pasangan calon. Contohnya, Mahkamah Konstitusi pernah mendiskualifikasi Calon Bupati Bengkulu Selatan, Dirwan Mahmud,” imbuh Bisariyadi.
Terkait kewenangan mengadili sengketa pilkada, Bisar menjelaskan, MK melalui putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 menyatakan pilkada bukan rezim pemilu. Sejak itu, MK seharusnya tidak lagi berwenang mengadili perselisihan hasil pilkada. “Namun, pembentuk undang-undang melalui UU No. 8/2015 kembali menyerahkan kewenangan itu kepada MK sampai dibentuknya lembaga peradilan khusus penyelesaian sengketa pilkada,” jelasnya.
Usai penyampaian materi, Bisar memberikan kesempatan bagi mahasiswa yang ingin bertanya. Misalnya, ada mahasiswa yang menanyakan alasan MK tidak pernah memutus pembubaran parpol, mengingat begitu banyaknya parpol yang ada di Indonesia saat ini.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Bisar menjelaskan bahwa perlu syarat khusus untuk mengajukan permohonan terhadap kewenangan tersebut. “Untuk pembubaran partai politik, hanya pihak pemerintah saja yang dapat mengajukan permohonan. Parpol yang dapat dibubarkan hanyalah parpol yang terbukti memiliki asas yang bertentangan dengan ideologi Pancasila,” jawabnya. (Nano Tresna Arfana/lul)