Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materi Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan). Sidang perkara No. 29, 40, 43/PUU-XIV/2016 tersebut digelar pada Kamis (2/6) di ruang sidang pleno Gedung MK dengan dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Semula, persidangan pleno tersebut hanya untuk memeriksa Perkara Nomor 29/PUU-XIV/2016. Tapi dalam perkembangannya, ada permohonan judicial review baru yang menyangkut undang-undang dan pasal yang sama, perkara itu teregistrasi nomor 40/PUU-XIV/2016 dan 43/PUU-XIV/2016.
“Oleh karena itu kemudian kita gabung menjadi tiga perkara disidangkan bersama-sama. Tapi proses dari Perkara 29/PUU-XIV/2016 itu sudah sampai kepada yang terakhir pada hari ini rencananya adalah mendengarkan keterangan DPR dan keterangan Ahli Pemerintah. Oleh karena digabung, yang pertama perlu saya minta klarifikasi, apakah jawaban dari ahli yang dihadirkan Pemerintah bisa dipakai juga untuk jawaban pada Perkara 40/PUU-XIV/2016 dan 43/PUU-XIV/2016?” tanya Arief kepada Pemerintah.
Pemerintah yang diwakili oleh Surdiyanto mengatakan, hal itu bisa dilakukan. “Kalau ini perkaranya sama, masalahnya sama itu bisa,” kata Surdiyanto.
Atas dasar kesepakatan tersebut, permohonan perkara Nomor 40 dan 43/PUU-XIV/2016 sudah mendapat jawaban Pemerintah dari perkara Nomor 29. “Pada kesempatan ini Pemerintah mengajukan ahli yang mestinya kita dengar. Tapi yang bersangkutan, Prof. Dr. Adriaan Bedner tidak bisa hadir, tapi mengirimkan berupa keterangan tertulis,” ujar Arief.
Selanjutnya Pemohon Perkara No. 40, Sisno Adiwinoto menyatakan rencana mengajukan dua orang ahli pada persidangan 16 Juni mendatang. “Baik, Ahli yang diajukan dua orang akan kita dengar keterangannya pada persidangan yang akan datang. Kemudian untuk yang Pemerintah juga sudah selesai, sehingga persidangan besok itu persidangan yang terakhir karena Perkara Nomor 43 juga tidak mengajukan ahli ya,” ucap Arief.
Sebagaimana diketahui, Irwansyah Siregar dan Dedi Nuryadi sebagai Pemohon Nomor 29 mengungkapkan mereka adalah pelaku pencurian sarang burung wallet di Bengkulu dan telah menjalani hukumannya. Pada saat penangkapan terjadi penganiayaan, Irwansyah menjadi cacat di bagian kaki dan seorang temannya meninggal.
Pemohon ingin menegakkan keadilan atas kejadian tersebut, dan telah mengajukan permohonan pemeriksaan di pengadilan terhadap oknum polisi yang melakukan penembakan. Berkas perkara ini telah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri kota Bengkulu pada 29 Januari 2016 namun ditarik kembali oleh Jaksa Penuntut Umum dengan alasan untuk memperbaiki, menyempurnakan surat dakwaan.
Namun Pemohon dikejutkan dengan dikeluarkannya surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Nomor B-03/N.7.10/E.p.1/02/2016 tanggal 22 Februari 2016 untuk menghentikan penuntutan dalam kasus tersebut dengan alasan tidak cukup bukti dan telah daluwarsa.
Pada 1 Maret 2016 para Pemohon mengajukan permohonan pra peradilan, Pemohon khawatir kalau permohonan praperadilannya pun akan berakhir dengan penghentian penuntutan karena tersangka dalam kasus ini masih aktif bekerja di KPK. Sehingga ada kemungkinan yang paling mungkin ditempuh oleh Jaksa Agung apabila penghentian penuntutan dinyatakan tidak sah dalam putusan praperadilan, adalah dilakukannya pengesampingan perkara demi kepentingan umum sebagimana tercantum dalam Pasal 35 huruf c beserta penjelasan UU No. 16/2004.
Menurut Pemohon, penggunaan wewenang Jaksa Agung untuk mengesampingkan suatu perkara, merupakan wewenang yang bersifat dominus litis. Wewenang tersebut diberikan oleh ketentuan Pasal 35 huruf (c) UU Kejaksaan, pelaksanaan atas wewenang tersebut harus berpedoman pada adanya “kepentingan umum” dan setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara terkait masalah itu.
Sementara itu Pemohon Perkara No. 40 Sisno Adiwinoto dan Pemohon Perkara 43, Rahmad Sukendar mendalilkan bahwa definisi frasa “kepentingan umum” dalam Penjelasan Pasal 35 huruf c UU No. 16/2004 adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas. Bahwa mengesampingkan perkara menurut Penjelasan Pasal 35 huruf c UU No. 16/2004 merupakan pelaksanaan asas oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.
Pemohon beranggapan bahwa kepentingan umum meliputi semua aspek dalam bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak, dalam artian kepentingan umum bukanlah kepentingan pribadi maupun golongan. (Nano Tresna Arfana/lul)