Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan dua perkara Pengujian Undang-Undang Kejaksaan, Rabu (1/6) di Ruang Sidang Pleno MK. Kedua perkara dimaksud yakni Perkara No. 43/PUU-XIV/2016 yang dimohonkan Rahmad Sukendar dan Perkara No. 40/PUU-XIV/2016 yang diajukan oleh Sisno Adiwinoto. Pada sidang kali ini, Mahkamah mengagendakan untuk mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan yang diajukan oleh kedua Pemohon.
Kedua Pemohon lewat kuasa hukumnya masing-masing menyampaikan telah melakukan perbaikan permohonan sesuai saran Majelis Hakim pada sidang pendahuluan. Ardy Mbalemboet selaku kuasa hukum Sisno Adiwinoto menyampaikan telah memperbaiki posita permohonan terkait dasar-dasar pengajuan permohonan uji materi.
Selain itu, Ardy juga menjelaskan bahwa dalam permohonannya, kedudukan hukum yang dipakai Sisno sudah diperjelas. Sisno menggunakan kedudukan hukum sebagai Wakil Ketua Umum Ikatan Sarjana dan Profesi Perpolisian Indonesia (ISPPI).
“Berdasarkan anggaran dasar ISPPI, Pasal 2 tentang status ISPPI merupakan organisasi sosial kemasyarakatan yang berkaitan dengan profesi kepolisian dan berperan sebagai mitra kerja polri dan lembaga-lembaga kepolisian lainnya dalam ikut mendorong peningkatan penyelenggaraan fungsi kepolisian,” ujar Ardy di hadapan Hakim Konstitusi Suhartoyo yang memimpin persidangan.
Agar permohonannya logis, Ardy menambahkan bahwa Pemohon menggunakan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sebagai batu uji terhadap Pasal 35 huruf C UU Kejaksaan yang digugat oleh Pemohon. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 memberikan amanat bahwa setiap warga negara berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Menurut Susno, seperti yang disampaikan Ardy, Pasal 35 huruf C UU Kejaksaan yang memberikan kewenangan bagi jaksa agung untuk mengeluarkan seponering tidak sejalan dengan amanat Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Terlebih, ketentuan seponering dengan alasan demi kepentingan umum tersebut dinilai tidak mendukung kebijakan Nawacita yang diusung Presiden Joko Widodo.
“Negara terus menerus digonjang-ganjingkan oleh keputusan tidak adil oleh jaksa agung yang dengan mudah dan tanpa beban mengesampingkan serta menghentikan penuntutan. Hal ini menimbulkan ketidakpastian dalam penegakan hukum, mencederai rasa keadilan publik atau masyarakat, bahkan melecehkan kinerja kepolisian,” tukas Ardy.
Hal serupa juga disampaikan Haetami selaku kuasa hukum Rahmad Suhendar. Haetami menyampaikan bahwa legal standing yang dipakai oleh Rahmad Suhendar sudah diubah. Bila sebelumnya sebagai perorangan warga negara Indonesia, setelah diperbaiki Pemohon menggunakan legal standing sebagai badan hukum privat bernama Organisasi Masyarakat Peneliti Independen Kekayaan Pejabat Negara dan Pengusaha Nasional.
“Tugasnya sebagai badan hukum privat yaitu badan hukum yang didirikan atas dasar hukum perdata atau hukum sipil yang menyangkut kepentingan orang atau individu-individu yang termasuk dalam badan hukum tersebut,” jelas Haetami.
Latar Belakang
Sebelumnya pada sidang pendahuluan yang digelar Rabu (18/5), kedua Pemohon pada pokoknya menyampaikan gugatan terkait seponering yang dikeluarkan jaksa agung terhadap kasus mantan pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto.
Ketentuan tersebut dinilai telah menjegal langkah penyidik untuk menuntaskan kasus. Selain itu, Sisno yang pada sidang pendahuluan hadir dalam persidangan menyatakan penetapan seponering selama ini sangat politis dan menimbulkan efek domino.
“Kami harapkan keputusan deponering (seponering, red) itu bisa dibatalkan sehingga kasus ini tetap berjalan,” ujar Sisno menyampaikan keinginannya kala itu.
Sementara Haetami mempertanyakan arti dari frasa “kepentingan umum” dalam Pasal 35 huruf C UU Kejaksaan. Menurutnya, frasa “kepentingan umum” memiliki tafsir majemuk yang dapat diartikan sebagai kepentingan di semua aspek bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat.
Berdasarkan argumen-argumen tersebut, kedua Pemohon meminta Mahkamah untuk menyatakan Pasal 35 huruf C UU Kejaksaan bertentangan dengan UUD 1945.
Penggabungan Perkara
Sebelum menutup sidang kedua, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyampaikan akan membawa hasil persidangan ke pleno Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk diambil keputusan tindak lanjut penanganan kedua perkara. Sementara itu, terkait wacana penggabungan pemerikasaan perkara, Suhartoyo juga menyampaikan akan dirundingkan dalam RPH.
“Kemarin memang kami dari panel sempat berwacana kalau nanti ada kemungkinan untuk digabung dengan perkara yang sedang berjalan. Perkara Nomor 29 itu substansinya sama persis, hanya saja sudah berjalan. Nanti akan kami usulkan untuk digabung karena persoalannya Perkara 29 ini sudah sampai di akhir-akhir persidangan,” terang Suhartoyo. (Yusti Nurul Agustin/lul)