Mahkamah Konstitusi (MK) memutus menolak permohonan uji materi Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang diajukan oleh Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) bersama beberapa Pemohon lainnya. Putusan tersebut menyatakan pemberhentian sementara pimpinan KPK yang ditetapkan menjadi tersangka tindak pidana tidak bertentangan dengan hukum.
“Amar putusan, menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Arief Hidayat didampingi para hakim konstitusi lainnya dalam sidang putusan perkara No. 25/PUU-XIII/2015, Selasa (31/5) di ruang sidang MK.
Melalui putusan tersebut, Mahkamah menegaskan pemberhentian sementara seorang pejabat atau penyelenggara negara yang ditetapkan menjadi tersangka tindak pidana kejahatan merupakan mekanisme hukum yang menjamin ditegakkannya asas praduga tak bersalah. “Dalam tindakan menghukum berupa pemberhentian sementara itu sekaligus terkandung sifat memperbaiki atau memulihkan, dalam hal ini memulihkan hak tersangka yang dijatuhi sanksi administratif itu bilamana ternyata perbuatan yang dipersangkakan itu tidak benar atau perbuatan itu dinyatakan atau dianggap tidak ada,” ujar Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna membacakan pertimbangan hukum.
Oleh karena itu, Mahkamah menerima sebagian keterangan Pihak Terkait KPK, khususnya bagian yang menerangkan bahwa pemberhentian pimpinan KPK yang menjadi tersangka melakukan tindak pidana kejahatan tidak didasarkan pada asumsi pimpinan KPK tersebut telah bersalah melakukan kejahatan. Pemberhentian tersebut merupakan mekanisme atau prosedur khusus yang berlaku terhadap pimpinan KPK. “Apabila di kemudian hari yang bersangkutan tidak lagi menjadi tersangka, maka Presiden harus mencabut penetapan pemberhentian sementara itu, sebagaimana yang pernah terjadi terhadap mantan pimpinan KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah yang penetapan tersangkanya dianulir,” imbuhnya.
Prosedur khusus demikian wajar jika mengingat pimpinan KPK bukanlah semata-mata penegak hukum “biasa” karena di dalamnya melekat fungsi penyelidikan, penyidikan, sekaligus penuntutan. Oleh karena itu, dapat dimengerti bahwa tatkala ketentuan tentang pemberhentian sementara sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (2) dibahas di DPR, tak satu pun anggota Komisi II DPR, para ahli, maupun anggota lembaga swadaya masyarakat yang menyatakan keberatannya terhadap syarat pemberhentian sementara pimpinan KPK yang disangka melakukan tindak pidana. “Artinya, syarat dimaksud pun bersifat extraordinary.Dengan pertimbangan di atas, dalil Pemohon yang menyepadankan perberhentian sementara tersebut dengan pemberhentian tetap tidaklah dapat diterima dan tidak beralasan menurut hukum,” tegas Palguna.
Sebagaimana diketahui, dalam permohonannya Pemohon mendalilkan telah dirugikan dengan berlakunya Pasal 32 ayat (2) UU KPK yang mengatur pemberhentian sementara pimpinan KPK ketika menjadi tersangka tindak pidana kejahatan. Pasal tersebut dinilai telah mengakibatkan tidak adanya kesamaan yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 terhadap KPK dibandingkan penegak hukum lain khususnya kepolisian. Hal ini terlihat dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia yang tidak mengatur tentang pemberhentian sementara apabila pimpinan Polri menjadi tersangka.
Menurut Pemohon, adanya Pasal 32 ayat (2) UU KPK mengakibatkan Pimpinan KPK dengan mudah diberhentikan sementara oleh Presiden dengan adanya penetapan tersangka saja oleh Polri, padahal belum tentu status tersangka tersebut dinaikkan menjadi terdakwa. Proses penetapan tersangka oleh Polri dapat dilakukan hanya dengan bukti permulaan yakni laporan polisi dan satu alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP.
Kewenangan ini dinilai Pemohon sangat besar dan dalam pelaksanaannya dapat memungkinkan terjadinya manipulasi kasus hanya untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka saja. Berlakunya aturan ini pun dinilai berpotensi mengakibatkan KPK tidak dapat berfungsi efektif dan optimal dengan adanya penetapan tersangka terhadap para pimpinan KPK. Terlebih jika penetapan tersangka dilakukan kepada seluruh pimpinan KPK sehingga membuat KPK mengalami kekosongan posisi pimpinan. (Nano Tresna Arfana/lul)