Kepala Biro Hukum Pemprov Jawa Timur Himawan Estu Bagijo hadir selaku Pihak Terkait dalam sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Sidang perkara dengan Nomor 30/PUU-XIV/2016 digelar pada Selasa (30/5) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam keterangannya, ia mengungkapkan pengalihan kewenangan pengurusan pendidikan dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah provinsi bukan suatu masalah. Ia mengibaratkan pengalihan kewenangan tersebut hanyalah perpindahan dari satu kantong ke kantong lainnya. Sebagai Pemprov Jawa Timur, pihaknya dalam proses pemindahan kewenangan ini dan memastikan tidak ada hak warga Jawa Timur dalam memperoleh pendidikan terabaikan akibat perpindahan kewenangan ini.
“Bagi kami pemerintah provinsi, ini prinsipnya adalah dari kantong kiri ke kantong kanan karena sama-sama punya negara. Apakah itu mau punya kabupaten, mau punya provinsi. Kalau diperintahkan toh nanti sama-sama administrasinya di DJKN (Direktur Jenderal Kekayaan Negara). Jadi tidak ada yang dirugikan dan diuntungkan dalam konteks sarana-prasarana,” terangnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Ia menuturkan pihaknya telah melakukan sosialisasi dan membentuk pokja serta melakukan kajian akademis implementasi undang-undang a quo. Tak hanya itu, pada 2016 ini, Pemprov Jawa Timur telah menyelesaikan finalisasi validasi. Bagijo menegaskan urusan bidang pendidikan merupakan bagian urusan konkuren wajib pelayanan dasar yang bersifat vital dan menentukan kemajuan bangsa. “Untuk itu, prinsipnya, Pemerintah Provinsi Jawa Timur mengambil upaya terbaik untuk memenuhi kewajiban hukumnya dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,” tegasnya.
Berbeda halnya dengan keterangan Pemprov Jawa Timur, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang juga merupakan Pihak Terkait perkara ini merasa tak pernah dilibatkan dalam penyusunan UU a quo sebagai pemangku kepentingan dalam pendidikan. Kuasa Hukum PGRI Andi M. Asrun menjelaskan pengalihan kewenangan tersebut dapat menimbulkan kerugian sosial politik. “Seharusnya, UU a quo membuat aturan untuk tetap memberikan kewenangan penyelanggara pendidikan SMA/SMK kepada pemerintah kebupaten/kota yang mampu dan terbukti mampu menyelenggara pendidikan SMA/SMK secara baik,” tegasnya.
Terancam Tidak Sekolah
Dalam sidang tersebut, Pemohon juga menghadirkan tiga orang saksi yang merasa pengalihan kewenangan tersebut akan berpotensi merugikan hak konstitusionalnya dalam mendapatkan pendidikan. Salah satu yang hadir adalah pelajar Rohmat Abdi. Ia mengungkapkan penyelenggaraan pendidikan menengah yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Kabupaten Blitar telah dilaksanakan dengan baik. Sebagai pelajar dari keluarga menengah ke bawah, fasilitas pendidikan yang disediakan Pemerintah Kabupaten Blitar sangat membantu dirinya untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Ia khawatir dengan peralihan kewenangan kepada pemerintah provinsi akan mengancam masa depan pendidikannya kelak.
”Belakangan saya sangat khawatir sekali dengan masa depan saya dan adik-adik saya nanti. Saya tidak bisa membayangkan apa yang terjadi andaikan apa yang saya dengar akhir-akhir ini bahwa sekolah saya akan berpindah yang menangani yaitu Pemerintah Kota Blitar ke pemerintah Provinsi Jawa Timur. Andaikan ini benar-benar terjadi apakah bisa pemerintah Provinsi Jawa Timur memberikan sebagaimana yang saya terima pada saat ini. Jika tidak bisa memberikannya betapa beratnya beban yang harus ditanggung oleh ibu saya untuk menyekolahkan saya dan adik-adik saya nantinya,” ujarnya.
Permohonan diajukan oleh Walikota Blitar Muhammad Samanhudi Anwar dan sejumlah warga Surabaya yang merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan adanya Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda. Dalam pokok permohonannya, Samanhudi berkeberatan dengan aturan dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Angka I huruf A Nomor 1 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pendidikan. Menurut pemohon, aturan yang mengalihkan pengelolaan pendidikan menengah dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah provinsi mengakibatkan pengelolaan unsur manajemen pendidikan menengah menjadi sia-sia dan tidak berkelanjutan.
Sementara Warga Surabaya menilai ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda berpotensi menghilangkan jaminan bagi warga negara untuk mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagaimana dijamin dalam UUD 1945. Berlakunya Pasal 15 ayat (1) dan (2) serta lampiran huruf (A) UU 23/2014 menimbulkan ketidakpastian hukum dalam jaminan di bidang pendidikan. (Lulu Anjarsari/lul)