Delegasi Epistema Institute melakukan audiensi dengan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat, Senin (30/5) di Ruang Delegasi Gedung MK. Kedatangan mereka bertujuan untuk menyampaikan hasil dari Simposium Masyarakat Adat II yang diselenggarakan pada 16-17 Mei 2016 di Jakarta.
“Salah satu pembahasan simposium yang fundamental adalah mengenai Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 yang diucapkan pada 16 Mei 2013. Dikatakan fundamental karena putusan ini mempertegas kedudukan masyarakat adat. Putusan itu merupakan satu titik balik tentang bagaimana negara mempersepsikan masyarakat adat,” ujar Yance Arizona selaku Direktur Eksekutif Epistema Institute.
Namun, lanjut Yance, implementasi putusan MK tersebut dalam praktiknya tidak berjalan sepenuhnya. Misalnya, banyak kelompok masyarakat yang tetap dikriminalisasi karena mengelola tanah adat sebagai sumber daya alam. Tahun 2015 lalu terdapat 217 anggota masyarakat adat yang dipidana terkait konflik sumber daya alam.
Padahal, Yance menyatakan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 itu menjadi referensi utama dalam mendorong perubahan sejumlah regulasi, baik nasional, provinsi, kabupaten dan kota. Saat ini, ada program legislasi nasional terkait dengan pengakuan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Tapi ternyata putusan MK belum dijalankan oleh penyelenggara negara setelah tiga tahun berjalan. Hal ini menjadi keprihatinan yang sangat luar biasa bagi Epistema Institute maupun lembaga-lembaga sejenis yang peduli dengan masyarakat adat.
Terhadap hal-hal yang disampaikan delegasi Epistema Institute, Ketua MK menjelaskan bahwa suatu masyarakat dikatakan masyarakat adat selama adat istiadat dalam masyarakat itu masih hidup. Misalnya, sistem noken memang diakui di Papua saat pemilu. “Tetapi hanya di daerah tertentu yang memang masih hidup adat tersebut,” jelas Arief.
Mengenai hal lain, Arief menerangkan bahwa desain dari Mahkamah Konstitusi berbeda dengan Mahkamah Agung (MA) maupun Pengadilan Negeri (PN). “Mahkamah Konstitusi berbeda dengan Pengadilan Negeri maupun Mahkamah Agung yang memiliki lembaga eksekutor untuk memaksakan putusan,” jelas Arief kepada rombongan dari Epistema Institute.
Dengan demikian, kata Arief, implementasi dari putusan MK tergantung kepada kesadaran dan ketaatan pada putusan. Menurut Arief, persoalan implementasi putusan MK itu dijalankan atau tidak, bukan hanya terjadi di Indonesia. Tetapi juga terjadi di banyak negara di dunia. “MK sudah memutus tetapi implementasinya tidak dijalankan. Karena memang tidak ada lembaga eksekutorialnya,” ucap Arief.
Epistema Institute berdiri atas gagasan anggota-anggota perkumpulan untuk pembaharuan hukum berbasis masyarakat dan ekologis (HuMa). Lembaga ini adalah pengembangan dari Learning Centre HuMa, sebuah unit kerja semi-otonom dalam Perkumpulan HuMa yang dibentuk untuk mendorong pembelajaran berbagai aliran pemikiran tentang hukum dan masyarakat. Pembelajaran ini bertujuan untuk mendukung gerakan pembaruan hukum yang berbasis masyarakat, kelestarian ekosistem, nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan keberagaman budaya. (Nano Tresna Arfana/lul)