Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) Kejaksaan yang dimohonkan oleh Irwansyah Siregar dan Dedi Nuryadi, Selasa (24/5) di Ruang Sidang Pleno MK. Agenda sidang adalah mendengar keterangan ahli dari Pemohon dan Pemerintah. Keduanya menyampaikan keahlian terkait asas oportunitas yang menjadi dasar Jaksa Agung melakukan seponering.
Hadir sebagai ahli dari Pemohon yaitu Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran I Gde Pantja Astawa. Dalam kesempatan itu Pantja menyampaikan dasar untuk melakukan tindakan seponering (pengesampingan perkara demi kepentingan umum) adalah asas oportunitas. Hal ini terkait erat dengan kewenangan yang diberikan undang-undang kepada Kejaksaan.
Seperti diketahui, Kejaksaan menjadi satu-satunya lembaga yang diberikan kewenangan secara atributif untuk melakukan penuntutan perkara pidana. Sehingga, kewenangan penuntutan atau dominus litis menjadi monopoli jaksa sebagai penuntut umum seperti yang diamanatkan dalam Pasal 13 sampai Pasal 15 KUHAP.
Selain di dalam KUHAP, UU Kejaksaan juga menyebutkan bahwa jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang secara atributif oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Lebih lanjut, Pantja menjelaskan sebagai pemegang monopoli kewenangan penuntutan, jaksa wajib melimpahkan perkara tindak pidana beserta surat dakwaan ke pengadilan untuk segera diadili.
Terkait kewenangan seponering yang dimiliki Jaksa Agung, Pantja berpendapat hal tersebut merupakan bentuk pelaksanaan asas oportunitas yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari institusi kenegaraaan yang mempunyai hubungan dengan masyarakat.
Meski demikian, Astawa melihat kewenangan seponering yang dimiliki Jaksa Agung justru merupakan bentuk penyimpangan terhadap tugas dan wewenang jaksa atau kejaksaan pada umumnya yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan.
“Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa asas oportunitas (dasar dari seponering, red) merupakan penyimpangan terhadap asas legalitas (dasar wewenang jaksa atau kejaksaan, red). Atau dalam bahasa halusnya asas oportunitas merupakan pengecualian dari asas legalitas. Dengan menunjuk konstatasi tersebut, masalah hukum yang masih tersisa adalah pertama, ketidakjelasaan batasan makna, cakupan, dan tolak ukur kepentingan umum sebagai alasan bagi Jaksa Agung melakukan seponering. Penjelasan atas Pasal 35 huruf c Undang-Undang Kejaksaan hanya memaknai kepentingan umum sebagai kepentingan negara dan bangsa dan/atau kepentingan masyarakat luas tanpa ada kejelasan secara spesifik tentang makna cakupan dan tolak ukur kepentingan umum,” jelas Pantja dalam sidang perkara Nomor 29/PUU-XIV/2016 yang dipimpin langsung oleh Ketua M Arief Hidayat.
Adanya ketidakjelasan makna kepentingan umum yang menjadi alasan dikeluarkannya seponering tersebut, lanjut Pantja, secara potensial mengundang multitafsir dan debatable. Dengan kondisi yang multitafsir tersebut, ia khawatir Jaksa Agung dapat melakukan seponering secara subjektif berdasarkan wewenang istimewa yang diberikan oleh Undang-Undang Kejaksaan.
Berseberangan
Pendapat berbeda disampaikan oleh Andi Hamzah yang dihadirkan oleh Pemerintah sebagai ahli dalam sidang perkara No. 29/PUU-XIV/2016. Menurut Hamzah yang merupakan pakar hukum acara pidana, asas legalitas dan asas oportunitas bukan berada posisi yang berseberangan. Dua asas tersebut justru merupakan pilihan, dalam hal ini terkait proses penegakan hukum.
Hamzah memberikan contoh, penghentian suatu perkara dapat terjadi karena alasan teknis. Misalnya, perkara kurang bukti, nebis in idem, perkara sudah verjaard, ada dasar peniadaan pidana (dasar pembenar atau pemaaf) atau delik aduan tidak ada pengaduan. Hal semacam ini disebut dengan istilah public interest drop.
Selain itu, lanjut Hamzah, suatu perkara juga bisa dihentikan karena alasan policy (kebijakan). Misalnya, perkara tersebut dihentikan karena jika dilakukan penuntutan akan merugikan kepentingan umum, kepentingan pemerintah, atau kepentingan individu (terdakwa sudah tua, pelaku bukan residivis, kerugian sudah diganti). Penghentian perkara yang semacam ini menurut Hamzah didefinisikan sebagai seponeren.
Di akhir paparannya, Hamzah mengingatkan bahwa asas oportunitas yang tercantum dalam aturan mengenai seponeren jangan dirombak karena akan memengaruhi seluruh sistem hukum pidana dan acara pidana di Indonesia. (Yusti Nurul Agustin/lul)