Hampir 200 orang Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon mengunjungi Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (24/5). Kunjungan para mahasiswa tersebut diterima langsung oleh Peneliti MK Nallom Kurniawan yang juga memberikan paparan materi seputar sejarah dan kewenangan MK.
Mengawali paparannya, Nallom menjelaskan bahwa sebenarnya MK Austria bukanlah MK pertama yang didirikan di dunia. Sebelum MK Austria, sebenarnya MK Cekoslovakia lebih dulu memiliki suatu lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan judicial review. Namun sayangnya, saat itu Cekoslovakia sedang mengalami kondisi yang tidak stabil sehingga MK Cekoslovakia tidak dapat menjalankan kewenangannya dengan optimal.
“Sementara MK Austria sudah digagas sejak tahun 1919, kemudian pada tahun 1920 sudah berjalan. Oleh karena itulah MK Austria disebut-sebut sebagai MK pertama di dunia,” ujar Nallom.
Sebenarnya, lanjut Nallom, Indonesia juga tidak kalah dibanding negara-negara lain terkait ide pembentukan MK. Sebab, pada rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Mohammad Yamin sudah mengeluarkan gagasan untuk membentuk lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa di bidang pelaksanaan konstitusi dengan nama Balai Agung. Namun demikian, ide Yamin tersebut ditolak dengan alasan saat itu Indonesia belum memiliki banyak sarjana hukum dan Indonesia baru merdeka.
Selain itu, Nallom juga menguraikan tujuan pembentukan MK, khususnya di Indonesia. Menurut Nallom, pembentukan suatu undang-undang perlu dikawal karena prosesnya sangat politis. “Pelaku pembentuk undang-undang itu merupakan kumpulan lembaga politis, yaitu DPR dan Pemerintah. Dulu kita menganut prinsip demokrasi dengan lembaga tertinggi MPR. Tapi dalam demokrasi terdapat kelemahan, karena suara mayoritas yang menang, begitu juga dalam pembentukan undang-undang yang kerap disesuaikan oleh kepentingan kelompok,” urai Nallom.
Lebih lanjut, Nallom menjelaskan bahwa demokrasi memang membawa cacat sejak kelahirannya. Itulah kemudian, lanjut Nallom, prinsip yang dianut oleh Indonesia diubah dari yang menganut demokrasi murni menjadi demokrasi yang sesuai prinsip hukum. Oleh karena itulah kemudian lahir MK sebagai pengawal untuk melindungi hak-hak asasi warga negara.
Nallom juga memberikan contoh mengenai proses demokrasi di Indonesia yang “kebablasan”. Misalnya saja kasus-kasus pelengseran presiden sejak era Soekarno hingga Abdurrahman Wahid yang dilengserkan tanpa proses hukum sama sekali. “Kita negara hukum, tapi tidak menyelesaikan masalah sesuai mekanisme hukum. Contohnya soal pelengseran presiden. Seharusnya suksesi kepemimpinan nasional tidak seperti itu,” tambah Nallom di hadapan mahasiswa berjaket almamater biru itu.
Perbandingan
Pada kesempatan itu, Nallom juga menjelaskan mengenai perbedaan MK di Indonesia dengan MK di negara lain. Perbedaan mencolok terlihat pada diberikannya legal standing kepada tiap warga negara Indonesia. Hal semacam itu tidak dijumpai di MK negara lain, paling tidak di MK Austria dan MK Cekoslovakia yang pernah dikunjungi Nallom.
“Jadi, undang-undang yang dibuat oleh 560 anggota DPR bersama-sama dengan pemerintah bisa dibatalkan oleh satu orang warga negara bila diamini oleh MK. MK Indonesia bukan cuma sekali melakukan hal seperti itu. Satpam, tukang parkir, guru pernah dikabulkan gugatannya oleh MK meski mereka tidak didampingi satu pun kuasa hukum,” ungkap Nallom.
Selain itu, sistem persidangan di MK Indonesia juga memiliki kelebihan dari segi transparansi dan akuntabilitas. Sebab, semua persidangan di MK dilakukan secara terbuka untuk umum. Artinya, siapa pun bisa menyaksikan proses persidangan di MK.
“Persidangan di MK terbuka, bisa disaksikan siapa pun. Bisa langsung datang, bisa lihat di TV yang disediakan di luar ruang sidang, bisa lihat live streaming di internet, bisa lewat fasilitas video conference yang tersebar di seluruh fakultas hukum di Indonesia. Hal ini berbeda dengan MK Cekoslovakia dan Austria yang tertutup,” terang Nallom. (Yusti Nurul Agustin/lul)