Ketentuan mengenai tindak pidana korupsi seperti yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) multitafsir dan ambiguitas. Demikian keterangan yang disampaikan oleh Mantan Hakim Konstitusi Harjono selaku ahli yang dihadirkan oleh beberapa orang PNS dalam uji UU Tipikor pada sidang yang digelar Selasa (24/5) di Ruang Sidang Pleno MK.
Harjono menerangkan korupsi merupakan extraordinary crime yang merugikan keuangan negara. Namun dengan adanya kata ‘dapat’, justru tindakan yang belum merugikan keuangan negara dapat terkena pasal ini. “Sebetulnya rasiologis kemudian untuk menjadi suatu perbuatan korupsi adalah merugikan keuangan negara. Sama-sama perbuatannya, yang satu dilakukan yang rugi bukan negara, tidak menjadi perbuatan korupsi. Sejauh itu kemudian merugikan negara, menjadi perbuatan korupsi. Menurut saya ketentuan-ketentuan yang ada pada penjelasan Pasal 2 dan 3 itu harus hilang. Dan kata “dapat” harus dihilangkan dari rumusan itu,” jelasnya dalam sidang perkara Nomor 25/PUU-XIV/2016 yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman.
Begitu pula dengan frasa “atau orang lain atau suatu korporasi” dalam undang-undang a quo yang dianggapnya mengandung ketidakpastian hukum. Ia mencontohkan seorang kepala bagian dapat terkena pasal a quo hanya karena setuju memberi izin tidak masuk kantor kepada bawahannya selama waktu tertentu guna memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengerjakan proyek pribadinya. Dalam contoh ini, kepala bagian tersebut jelas melakukan penipuan atau memberikan keterangan palsu dalam memberikan izin dan terjerat delik korupsi seperti yang termaktub dalam pasal a quo. Akan tetapi, lanjut Harjono, bukan contoh seperti itu yang menjadi original intent disusunnya ketentuan tersebut.
Objektivitas
Ahli Pemohon lainnya, pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Dian Puji Simatupang menilai harus ada asas objektivitas dalam menafsirkan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Menurutnya, perlu adanya pemeriksaan dan perhitungan kerugian negara yang sesuai sistem hukum dan badan tertentu yang objektif. Akan tetapi, lanjutnya, keberadaan kata ‘dapat’ dalam pasal-pasal a quo justru menghilangkan objektivitas tersebut. Pada akhirnya siapapun bisa menilai adanya kerugian keuangan negara. “Pasal 2 dan 3 hanya gara-gara kata dapat tersebut memperluas dan menciptakan sistem yang tidak terstandar, tiada paramental dan kriteria,” ujarnya.
Permohonan tersebut diajukan oleh 6 orang pegawai negeri sipil (PNS) yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Para pemohon diwakili oleh kuasa hukumnya Heru Widodo, menyampaikan dalil permohonannya. Menurut Pemohon, frasa “atau orang lain atau suatu korporasi”dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor sangat merugikan para Pemohon dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dalam jabatan pemerintahan pusat ataupun daerah. Sebab, dalam menjalankan tugasnya, para Pemohon tidak dapat menghindari tindakan mengeluarkan keputusan, khususnya dalam hal penentuan pelaksana proyek pemerintahan yang dipastikan menguntungkan orang lain atau suatu korporasi.
Selain itu, Pemohon menyebutkan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, membuat Pemohon selalu diliputi rasa khawatir dan rasa tidak aman dalam mengambil setiap kebijakan atau keputusan. Hal tersebut karena setiap keputusan yang diambil akan selalu berisiko untuk dinyatakan sebagai kejahatan korupsi, walaupun keputusan tersebut menguntungkan bagi rakyat. Menurutnya, kata “dapat” dalam ketentuan tersebut dapat menjadikan tindak kriminalisasi terhadap ASN/PNS karena unsur merugikan keuangan negara. (Lulu Anjarsari/lul)