Mahkamah Konstitusi (MK) menerima kunjungan dari 67 mahasiswa hukum Universitas Yos Sudarso Surabaya, Jumat (20/5). Dalam agenda tersebut, para mahasiswa disambut Panitera Pengganti MK Wiwik Budi Warsito.
Mengawali paparannya, Wiwik menerangkan sepak terjang dan fungsi MK dalam ketatanegaraan Indonesia. MK adalah lembaga yudikatif yang terdiri dari sembilan hakim, yang merupakan representasi pilihan Mahkamah Agung (MA), Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). “Perinciannya masing masing berjumlah tiga orang dari pilihan tiap lembaga,” jelasnya.
Menyangkut tugas dan wewenang MK, Wiwik menjelaskan MK memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban berdasar amanat UUD 1945. Kewenangan MK yaitu menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Adapun kewajiban MK adalah membuat putusan terkait dugaan pelanggaran yang dilakukan presiden dan/atau wakil presiden.
Perkembangan terkini, kata dia, jumlah putusan MK hingga April 2016 mencapai lebih dari 2000 putusan, dengan perincian perkara pengujian undang-undang sebanyak 815 putusan, sengketa kewenangan lembaga negara sebanyak 25 putusan, putusan pemilu legislatif 1826 putusan, pemilu presiden sebanyak 4 putusan, dan pemilihan kepala daerah sebanyak 649 putusan.
Sesi Tanya Jawab
Usai menyampaikan pemaparan, Wiwik memberi kesempatan ke peserta yang ingin bertanya. Tercatat ada dua pertanyaan dalam sesi tersebut. Surya Pratama, mahasiswa Universitas Yos Sudarso bertanya apakah bisa putusan MK dilakukan banding dan kasasi. Lalu dirinya juga bertanya apa saja pertimbangan hakim dalam memutus suatu permohonan.
Wiwik menjawab jika putusan MK sifatnya final dan mengikat. Dengan kata lain tak dapat dilakukan banding dan kasasi pada putusan yang ada. \"Banding dan kasasi hanya bisa dilakukan di peradilan Mahkamah Agung (MA),\" ujar dia.
Mengenai pertimbangan hakim memutus permohonan, kata Wiwik, terdapat banyak pertimbangan. Pertimbangan paling mendasar adalah suatu undang-undang benar melanggar konstitusi atau tidak. “Ini didiskusikan dan diputuskan dalam Rapat Permusyawarahan Hakim (RPH) yang bersifat rahasia dan tertutup,” jelasnya.
Pertanyaan kedua, diajukan oleh Lia Adelia terkait apakah UU Desa dapat dilakukan judicial review. Menjawabnya, Wiwik menjelaskan UU Desa dapat saja diajukan permohonan untuk di-judicial review. Meski demikian, pemohon mesti dapat membuktikan hak konstitusi apa yang dirugikan dari undang-undang tersebut. (ars/lul)