Rekaman dapat digunakan sebagai alat bukti elektronik yang sah dan tidak bertentangan dengan Konstitusi. Hal tersebut disampaikan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia Mudzakir dalam sidang uji materiil Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Sidang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (19/5) di Ruang Sidang Pleno MK.
Sebagai ahli yang dihadirkan Pemerintah, Mudzakir berpandangan dalam KUHAP tidak pernah dijelaskan syarat-syarat alat bukti. Ia menambahkan dengan kemajuan teknologi yang ada, dimungkinkan adanya perluasan alat bukti dan tidak adanya batasan. “Berarti kalau itu (alat bukti elektronik, red) harus dengan pembatasan, sebagaimana yang diajukan oleh Pemohon, berarti semuanya tidak bisa memiliki kekuatan pembuktian, kecuali yang seperti yang disyaratkan dalam Pemohon,” terangnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Hal tersebut, lanjut Mudzakir, juga karena tindak pidana tidak berbatas. Ia menyebut setiap pelaku tindak pidana saat ini bisa menggunakan teknologi apapun dalam melakukan tindak pidana. Oleh karena itu, penyidik maupun jaksa dapat berkreasi mencari alat bukti elektronik.
Ia menjelaskan jika tren kejahatan menggunakan elektronik, namun alat bukti elektronik justru ternyata dibatasi dengan syarat-syarat, hal itu sama artinya dengan membiarkan kemungkinan terjadinya kejahatan yang lebih banyak. Pada akhirnya, lanjutnya, hal itu menyulitkan aparat penegak hukum.
“Jangan sampai kejahatan di masa depan menjadi sulit untuk bisa dibuktikan karena ada syarat-syarat tambahan dalam alat bukti elektronik. Ini sama artinya yang kita diskusikan di sini akan melahirkan tindakan pembiaran kejahatan di masa depan, disebabkan karena ada kesulitan pembuktian,” tandasnya menanggapi permohonan yang diajukan oleh Setya Novanto tersebut.
Dalam permohonan Nomor 20/PUU-XIV/2016, Pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan Pasal 44 huruf b UU ITE serta Pasal 26A UU Tipikor. Pemohon menjelaskan telah dipanggil dan dimintai keterangan oleh Penyelidik Kejaksaan Agung Republik Indonesia dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi permufakatan jahat atau percobaan melakukan tindak pidana korupsi dalam perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia berdasarkan rekaman elektronik. Pemohon menilai keberadaan norma dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) dan Pasal 44 huruf b UU ITE tidak mengatur secara tegas mengenai alat bukti yang sah adalah berkaitan dengan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang untuk melakukan perekaman.
Tidak adanya pengaturan tersebut, dapat menciptakan situasi seperti yang dialami Pemohon, yaitu dianggap melakukan tindak pidana atau melakukan perbuatan menyalahgunakan kewenangan, menerima pemberian atau janji. Tudingan tersebut, menurut Pemohon, hanya didasarkan pada hasil rekaman yang tidak sah (illegal) yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kewenangan untuk itu, dalam hal ini hasil rekaman yang dilakukan oleh Ma’roef Sjamsudin. Pemohon menilai tindakan perekaman tanpa kepentingan penegakan hukum oleh bukan aparat penegak hukum yang memiliki wewenang untuk itu serta penggunaanya sebagai dasar untuk melakukan penyelidikan tidak selaras dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
Cegah Kerugian Negara
Dalam sidang perkara Nomor 21/PUU-XIV/2016 yang juga dimohonkan oleh Setya Novanto, Pemerintah menghadirkan Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Suparji. Dalam keterangannya, ia menjelaskan frasa ‘permufakatan jahat’ dalam Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor dimaksudkan untuk mencegah kerugian keuangan negara termasuk kerugian yang bersifat potensial tetapi tidak berdampak terhadap kerugian aktual maupun kerugian yang bersifat potensial kepada warga negara.
Selain itu, lanjutnya, ketentuan pemufakatan jahat adalah salah satu upaya yang luar biasa untuk mencegah atau sebagai upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan secara sistematis, modus operandinya sulit dideteksi, dan berdekatan dengan kekuasaan. “Dengan demikian dampak dari frasa pemufakatan jahat adalah positif dan dapat dilaksanakan secara pasti, dan bukan sebaliknya, akan menimbulkan kerugian konstitusional bagi warga negara. Pasal 15 adalah berlaku umum, tidak berlaku deskriptif karena tidak membeda-bedakan bagi setiap orang atau badan,” tuturnya.
Dalam permohonan Nomor 21/PUU-XIV/2016, Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor. Pemohon menjelaskan telah dijerat dengan kedua pasal tersebut. Pemohon menilai bahwa pengertian tentang “pemufakatan jahat” dalam Pasal 88 KUHP yang juga menjadi acuan bagi beberapa undang-undang, termasuk oleh UU Tipikor, tidak jelas dan berpotensi menyebabkan terjadinya pelanggaran hak asasi akibat penegakan hukum yang keliru. Pengertian pemufakatan jahat dalam pasal 88 KUHP, menurut Pemohon, sesuai apabila diterapkan terhadap tindak pidana umum. Sebab, jika dipergunakan pula dalam tindak pidana khusus seperti pada UU Tipikor yang mensyaratkan kualitas tertentu, akan berpotensi memunculkan kesewenang-wenangan sebagaimana yang saat ini secara nyata dialami Pemohon. (Lulu Anjarsari/lul)